Rabu, 20 April 2011



MEMPERBAIKI DIRI SEBELUM MEMPERBAIKI SISTEM
Dr. Yusuf Al Qardhawy
 
DI ANTARA prioritas yang dianggap sangat penting  dalam  usaha
perbaikan   (ishlah)   ialah   memberikan  perhatian  terhadap
pembinaan  individu   sebelum   membangun   masyarakat;   atau
memperbaiki  diri  sebelum  memperbaiki  sistem dan institusi.
Yang paling tepat ialah  apabila  kita  mempergunakan  istilah
yang  dipakai  oleh  al-Qur'an yang berkaitan dengan perbaikan
diri ini; yaitu:
 
   "...Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu
   kaum sehingga mereka mengubah keaduan yang ada pada
   diri mereka sendiri..." (ar-Ra'd: 11)
 
Inilah  sebenarnya  yang  menjadi  dasar  bagi  setiap   usaha
perbaikan,  perubahan,  dan pembinaan sosial. Yaitu usaha yang
dimulai dari individu, yang menjadi  fondasi  bangunan  secara
menyeluruh.  Karena  kita tidak bisa berharap untuk mendirikan
sebuah  bangunan  yang  selamat  dan  kokoh  kalau   batu-batu
fondasinya keropos dan rusak.
 
Individu   manusia   merupakan  batu  pertama  dalam  bangunan
masyarakat. Oleh sebab itu, setiap usaha yang diupayakan untuk
membentuk  manusia  Muslim yang benar dan mendidiknya --dengan
pendidikan Islam yang sempurna-- harus diberi  prioritas  atas
usaha-usaha  yang  lain. Karena sesungguhnya usaha pembentukan
manusia Muslim yang sejati sangat diperlukan bagi segala macam
pembinaan  dan  perbaikan.  Itulah  pembinaan  yang  berkaitan
dengan diri manusia.
 
Sesungguhnya pembinaan manusia secara individual untuk menjadi
manusia yang salih merupakan tuga utama para nabi Allah, tugas
para khalifah pengganti nabi, dan para pewaris setelah mereka.
 
Pertama-tama yang harus dibina dalam diri manusia ialah  iman.
Yaitu  menanamkan  aqidah  yang  benar  di dalam hatinya, yang
meluruskan pandangannya terhadap  dunia,  manusia,  kehidupan,
dan  tuhan  alam semesta, Pencipta manusia, pemberi kehidupan.
Aqidah  yang  mengenalkan  kepada  manusia  mengenai  prinsip,
perjalanan dan tujuan hidupnya di dunia ini. Aqidah yang dapat
menjawab pelbagai pertanyaan yang  sangat  membingungkan  bagi
orang  yang  tidak  beragama:  "Siapa  saya? Dari manakah saya
berasal? Akan kemanakah perjalan hidup saya? Mengapa saya  ada
di  dunia  ini?  Apakah  arti hidup dan mati? Apa yang terjadi
sebelum adanya kehidupan? Dan apakah yang akan terjadi setelah
kematian? Apakah misi saya di atas planet ini sejak saya masih
di alam konsepsi hingga saya meninggal dunia?
 
Iman  --bukan  yang  lain--  adalah  yang  memberikan  jawaban
memuaskan  bagi  manusia  terhadap pertanyaan-pertanyaan besar
berkaitan dengan perjalanan hidup manusia itu.  Ia  memberikan
tujuan,  muatan makna, dan nilai bagi kehidupannya. Tanpa iman
manusia akan menjadi debu-debu halus yang  tidak  berharga  di
alam wujud ini, dan sama sekali tidak bernilai jika dihadapkan
kepada kumpulan benda di alam semesta yang sangat besar.  Umur
manusia   tidak   ada  apa-apanya  kalau  dibandingkan  dengan
perjalanan geologis yang berkesinambungan pada  alam  semesta,
dan  yang  akan  terus  berlangsung  dan  tidak akan berakhir.
Kekuatan Manusia tidak akan ada apa-apanya kalau  dibandingkan
dengan  pelbagai  kejadian  di  alam  semesta  yang  mengancam
keselamatannya; seperti: gempa  bumi,  gunung  meletus,  angin
ribut,  banjir,  yang  merusak  dan  membunuh  manusia. Ketika
berhadapan dengan  pelbagai  peristiwa  alamiah  itu,  manusia
tidak  dapat  berbuat  apa-apa,  walaupun  dia  mempunyai ilmu
pengetahuan, kemauan, dan teknologi canggih.
 
Selamanya, iman merupakan  pembawa  keselamatan.  Dengan  iman
kita  dapat  mengubah  jati diri manusia, dan memperbaiki segi
batiniahnya. Kita tidak dapat menggiring manusia seperti  kita
menggiring  binatang ternak; dan kita tidak dapat membentuknya
sebagaimana kita membentuk peralatan rumah tangga yang terbuat
dari besi, perak atau bijih tambang yang lainnya.
 
Manusia  harus  digerakkan  melalui akal dan hatinya. Ia harus
diberi kepuasan sehingga  dapat  merasakan  kepuasan  itu.  Ia
harus  diberi petunjuk agar dapat meniti jalan yang lurus; dan
ia harus digembirakan dan diberi peringatan,  agar  dia  dapat
bergembira dan merasa takut dengan adanya peringatan tersebut.
Imanlah  yang  menggerakkan  dan  mengarahkan  manusia,  serta
melahirkan  berbagai  kekuatan  yang  dahsyat  dalam  dirinya.
Manusia tidak akan  memperoleh  kejayaan  tanpa  iman.  Karena
sesungguhnya  iman  membuatnya  menjadi  makhluk  baru, dengan
semangat yang baru, akal baru,  kehendak  baru,  dan  filsafat
hidup  yang  juga  baru. Sebagaimana yang kita saksikan ketika
para ahli sihir Fir'aun beriman kepada  Tuhan  nabi  Musa  dan
Harun.  Mereka  menentang kesewenangan Fir'aun, sambil berkata
kepadanya dengan penuh ketegasan dan kewibawaan:
 
   "... maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan.
   Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada
   kehidupan di dunia ini saja... (Taha: 72)
 
Kita juga dapat  melihat  para  sahabat  Rasulullah  saw  yang
keimanan  mereka  telah memindahkan kehidupan Jahiliyah mereka
kepada  kehidupan  Islam;  dari   penyembahan   berhala,   dan
penggembalaan  kambing  kepada  pembinaan  umat  dan  menuntun
manusia kepada petunjuk Allah SWT, serta  mengeluarkan  mereka
dari kegelapan kepada cahaya.
 
Selama  tiga  belas  tahun  di  Makkah  al-Mukarramah, seluruh
perhatian dan kerja-kerja Nabi saw  --yang  berbentuk  tabligh
dan  da'wah--  ditumpukan  kepada  pembinaan  generasi pertama
berdasarkan keimanan.
 
Pada  tahun-tahun  itu  belum  turun  penetapan  syariah  yang
mengatur  kehidupan  masyarakat,  menetapkan hubungan keluarga
dan hubungan sosial, serta menetapkan  sanksi  terhadap  orang
yang   menyimpang  dari  undang-undang  tersebut.  Kerja  yang
dilakukan oleh al-Qur'an dan  Rasulullah  saw  adalah  membina
manusia  dan  generasi  sahabat  Rasulullah  saw, mendidik dan
membentuk mereka, agar mereka dapat menjadi pendidik di  dunia
ini setelah kepergian baginda Rasul.
 
Dahulu,  rumah  Al-Arqam  bin  Abi  al-Arqam memainkan peranan
untuk itu. Kitab suci Allah SWT  diturunkan  kepada  Rasul-Nya
sedikit  demi  sedikit sesuai dengan kasus-kasus yang dihadapi
pada saat itu; agar dia membacakannya  kepada  manusia  secara
perlahan-lahan,  untuk  memantapkan keyakinan hati mereka, dan
orang-orang yang beriman kepadanya. Nabi saw menjawab berbagai
pertanyaan  orang  musyrik  pada  waktu  itu dengan mematahkan
hujah-hujah mereka, sehingga hal  ini  sangat  besar  perannya
dalam  membina  kelompok  orang-orang beriman, memperbaiki dan
mengarahkan perjalanan hidup mereka. Allah SWT berfirman:
 
   "Dan al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan
   berangsur-angsur agar kamu membacakannya
   perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya
   bagian demi bagian. (al-Isra,: 106)
   
   "Berkatalah orang-orang kafir: "Mengapa al-Qur'an itu
   tidak diturunkan kepadanya sekaligus saja?"
   Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan
   Kami membacakannya kelompok demi kelompok. Tidaklah
   orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa)
   sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu
   suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya."
   (al-Furqan: 32-33)
 
Tugas terpenting yang mesti kita lakukan pada hari ini apabila
kita  hendak  melakukan  perbaikan  terhadap keadaan umat kita
ialah melakukan permulaan yang tepat,  yaitu  membina  manusia
dengan  pembinaan  yang  hakiki  dan  bukan hanya dalam bentuk
luarnya  saja.  Kita  harus  membina  akal,  ruh,  tubuh,  dan
perilakunya  secara  seimbang.  Kita  membina  akalnya  dengan
pendidikan; membina ruhnya dengan ibadah;  membina  jasmaninya
dengan  olahraga;  dan  membina perilakunya dengan sifat-sifat
yang mulia. Kita dapat membina kemiliteran  melalui  disiplin;
membina  kemasyarakatannya  melalui  kerja sama; membina dunia
politiknya dengan penyadaran. Kita harus  mempersiapkan  agama
dan  dunianya secara bersama-sama agar ia menjadi manusia yang
baik,  dan  dapat  mempengaruhi  orang  untuk  berbuat   baik,
sehingga  dia  terhindar  dari  kerugian di dunia dan akhirat;
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:
 
   "Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar
   berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang
   beriman dan mengerjakan amal saleh dan
   nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan
   nasihat- menasihati supaya menetapi kesabaran."
   (al-'Ashr: 1-3)
 
Usaha itu tidak dapat dilakukan dengan  baik  kecuali  melalui
pandangan  yang menyeluruh terhadap wujud ini, dan juga dengan
filsafat hidup yang jelas,  proyek  peradaban  yang  sempurna,
yang  dipercayai  oleh  umat, sehingga ia mendidik anak lelaki
dan perempuannya dengan penuh keyakinan, bekerja sesuai dengan
hukum yang telah ditentukan dan berjalan pada jalur yang telah
digariskan. Bagaimanapun, semua institusi yang  ada  di  dalam
umat  (masjid  dan universitas, buku dan surat kabar, televisi
dan radio) mesti melakukan  kerja  sama  yang  baik,  sehingga
tidak  ada  satu  institusi yang naik sementara institusi yang
lainnya tenggelam, atau ada satu perangkat yang  dibangun  dan
pada  saat yang sama perangkat lainnya dihancurkan. Pernyataan
di atas dibenarkan oleh ucapan penyair terdahulu:
 
   "Dapatkah sebuah bangunan diselesaikan; Apabila engkau
   membangunnya dan orang lain menghancurkannya?"
 
------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

PRIORITAS HAK MASYARAKAT ATAS HAK INDIVIDU



PRIORITAS HAK MASYARAKAT ATAS HAK INDIVIDU
Dr. Yusuf Al Qardhawy
SUATU prioritas yang mesti kita berikan perhatian ialah kewajiban yang berkaitan dengan hak orang ramai yang harus kita dahulukan atas kewajiban yang berkaitan dengan hak individu. Sesungguhnya seorang individu tidak akan dapat mempertahankan dirinya tanpa orang ramai, dan dia juga tidak dapat hidup sendirian; karena sesungguhnya manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan untuk bermasyarakat; seperti yang dikatakan oleh para ilmuwan Muslim terdahulu. Manusia adalah makhluk sosial sebagaimana dikatakan oleh ilmuwan modern. Seseorang akan sedikit nilainya kalau dia sendirian, dan akan banyak nilainya kalau dia bersama-sama orang ramai. Bahkan dia dianggap tiada ketika dia sendirian, dan baru dianggap ada ketika dia dengan kumpulannya. Atas dasar itu, kewajiban yang berkaitan dengan hak orang ramai atau umat harus lebih diutamakan daripada kewajiban yang berkaitan dengan hak individu. Oleh karena itu, para ulama menetapkan apabila terjadi pertentangan antara kewajiban berperang --yang hukumnya fardhu kifayah-- dengan berbakti kepada orangtua, maka berbakti kepada orangtua harus didahulukan, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits-hadits shahih yang telah kami sebutkan di atas. Akan tetapi, apabila perang berubah hukumnya menjadi fardhu ain, yaitu apabila orang-orang kafir menyerang negeri kaum Muslimin, maka perang diwajibkan atas semua penduduk negara itu untuk mempertahankan negara mereka. Jika ada bapak atau ibu --karena alasan-alasan emosional-- menolak keikutsertaan anaknya dalam perang mempertahankan negara, maka sesungguhnya penolakan itu tidak dibenarkan oleh agama. Memang benar, sesungguhnya berbakti dan mentaati kedua orangtua merupakan fardhu ain, dan perang dalam keadaan seperti itu juga fardhu ain; namun kefardhuan perang di sini adalah untuk mempertahankan umat secara menyeluruh, termasuk kedua orangtua itu. Kalau tidak, maka negara akan jatuh ke tangan musuh, atau seluruh penduduknya terbunuh, termasuk kedua orang itu. Oleh karena itu, perang pada kondisi seperti ini adalah untuk kemaslahatan orang banyak. Perang dalam hal ini merupakan hak Allah, dan berbakti adalah hak kedua orangtua, dan hak Allah harus didahulukan atas hak makhluk-Nya. Uraian tersebut merupakan penegasan terhadap apa yang dikatakan sebelumnya. Kebanyakan, kalimat 'hak Allah' dipergunakan sebagai ungkapan yang mewakili hak orang banyak atau umat, karena sesungguhnya Allah SWT tidak memperoleh keuntungan di balik semua hukum tersebut. Hukum-hukum itu pada awal dan akhirnya adalah untuk kepentingan hamba-hamba-Nya. Sebagai penerapan terhadap kaidah ini, kita harus mendahulukan hak umat atas hak individu. Imam al-Ghazali dan lainnya membolehkan penembakan terhadap kaum Muslimin apabila mereka dijadikan sebagai benteng musuh (yaitu apabila mereka dipergunakan sebagai benteng musuh yang diletakkan pada barisan terdepan) dengan syarat-syarat tertentu; padahal tidak diperselisihkan lagi bahwa menjaga pertumpahan darah kaum Muslimin adalah wajib, dan kita tidak boleh menumpahkan darah mereka dengan cara yang tidak benar. Lalu bagaimana al-Ghazali membolehkan penembakan terhadap orang-orang Muslim yang tidak bersalah itu ketika mereka berada di barisan terdepan tentara musuh? Sesungguhnya Imam Ghazali dan ulama yang sepakat dengan pendapatnya membolehkan hal itu adalah untuk melindungi orang banyak, menjaga umat dari kehancuran, karena sesungguhnya individu dapat diganti, sedangkan umat tidak akan ada gantinya. Para fuqaha mengatakan, "Kalau musuh kita mempergunakan kaum Muslimin sebagai benteng pertahanan mereka, ketika mereka dijadikan sebagai tawanan; kemudian mereka ditempatkan pada barisan tentara yang terdepan, untuk melindungi tentara mereka sendiri; dan kalau kita tidak menghancurkan pasukan tentara musuh itu akan membahayakan umat Islam, maka kaum Muslimin yang dijadikan sebagai tameng itu boleh kita bunuh. Pasukan tentara kaum Muslimin boleh membunuh mereka, walaupun darah mereka harus dilindungi karena mereka tidak berdosa apa-apa. Sesungguhnya keadaan darurat untuk memberikan perlindungan kepada umat secara menyeluruh sangat memerlukan pengorbanan orang-orang yang dijadikan sebagai benteng itu. Kalau tidak, maka dikhawatirkan Islam akan tercabut dari akarnya dan dikuasai oleh orang-orang kafir. Dan pahala orang-orang itu kita serahkan kepada Allah." 21 Oleh karena itu, Imam Ghazali menjawab penolakan orang-orang yang tidak setuju dengan praktik tersebut: "Ini merupakan penumpahan darah orang yang harus dilindungi dan diharamkan darahnya. Praktik seperti itu bertentangan dengan hukum agama, karena sesungguhnya bila praktik serupa itu tidak dijalankan, maka tidak akan terjadi pertumpahan darah yang tidak dibenarkan. Namun kita mengetahui, bahwasanya agama ini sangat memperhatikan hak orang banyak daripada hak orang sedikit. Sesungguhnya menjaga kaum Muslimin agar tidak jatuh ke tangah orang-orang kafir adalah lebih penting daripada melaksanakan salah satu tujuan syari'ah agama ini, yaitu melindungi darah seorang Islam. Hal ini lebih penting daripada mencapai tujuan syari'ah itu."22 Pendapat di atas --sebagaimana yang kami lihat-- didasarkan atas fiqh pertimbangan. Contoh yang serupa dengan ini ialah apabila terjadi kondisi darurat perang yang mewajibkan pembayaran pajak atas orang-orang yang mampu, dan mewajibkan orang-orang kaya untuk membiayai peperangan. Sesungguhnya syari'ah agama ini menekankan dan mewajibkannya, sebagaimana disebutkan dalam pelbagai nas yang ditulis oleh para ahli fiqh. Pada kondisi biasa (keadaan damai) mereka tidak dibebani kewajiban untuk membayar apa-apa selain zakat. Imam Ghazali mengemukakan argumentasi bagi pendapatnya sebagai berikut: "Karena sesungguhnya kita mengetahui bahwa apabila ada dua bahaya yang kita hadapi, maka syari'ah agama ini menganjurkan kepada kita untuk menolak bahaya yang lebih besar. Dan sesungguhnya bayaran yang dikenakan kepada setiap orang yang kaya (yang dibebani tambahan pembayaran pajak) adalah lebih kecil bahayanya atas diri mereka dan harta bendanya daripada bahaya yang timbul apabila negara Islam dikuasai oleh penguasa dari luar Islam yang nantinya akan menguasai aturan yang berlaku di negara itu. Dengan adanya tambahan pembayaran pajak itu kita dapat memotong segala macam kejahatan yang diperkirakan akan timbul." 23 Kasus yang sama dengan ini ialah pembebasan tawanan kaum Muslimin dari tangan orang-orang kafir, walaupun untuk ini memerlukan biaya yang sangat tinggi. Imam Malik berkata, "Kaum Muslimin diwajibkan untuk menebus tawanan yang ada di tangan musuh, walaupun untuk melakukannya diperlukan seluruh kekayaan mereka." 24 Mengapa? Karena kehormatan para tawanan itu terdiri atas kaum Muslimin, dan kehormatan kaum Muslimin berada di atas kehormatan yang lebih khusus, yaitu harta kekayaan yang dimiliki oleh para individu. Catatan kaki: 21 Lihat Imam al-Ghazali, al-Mustashfa, 1: 294-295 22 Ibid., 1:303 . 23 Imam al-Ghazali, al-Mustashfa, 1: 303-304; lihat as-Syathibi, al-I'tisham, 2: 121-122, cet. Syirkah al-I'lanat as-Syarqiyyah. 24 Abu Bakar Ibn 'Arabi, Ahkam al-Qur'an, 59-60.   ------------------------------------------------------ FIQH PRIORITAS Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah Dr. Yusuf Al Qardhawy Robbani Press, Jakarta Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M


 

PRIORITAS ILMU ATAS AMAL



PRIORITAS ILMU ATAS AMAL
------------------------
Dr. Yusuf Al Qardhawy
DI ANTARA pemberian prioritas yang dibenarkan oleh agama ialah prioritas ilmu atas amal. Ilmu itu harus didahulukan atas amal, karena ilmu merupakan petunjuk dan pemberi arah amal yang akan dilakukan. Dalam hadits Mu'adz disebutkan, "ilmu, itu pemimpin, dan amal adalah pengikutnya." Oleh sebab itu, Imam Bukhari meletakkan satu bab tentang ilmu dalam Jami' Shahih-nya, dengan judul "Ilmu itu Mendahului Perkataan dan Perbuatan." Para pemberi syarah atas buku ini menjelaskan bahwa ilmu yang dimaksudkan dalam judul itu harus menjadi syarat bagi ke-shahih-an perkataan dan perbuatan seseorang. Kedua hal itu tidak dianggap shahih kecuali dengan ilmu; sehingga ilmu itu didahulukan atas keduanya. Ilmulah yang membenarkan niat dan membetulkan perbuatan yang akan dilakukan. Mereka mengatakan: "Bukhari ingin mengingatkan orang kepada persoalan ini, sehingga mereka tidak salah mengerti dengan pernyataan 'ilmu itu tidak bermanfaat kecuali disertai dengan amal yang pada gilirannya mereka meremehkan ilmu pengetahuan dan enggan mencarinya." Bukhari mengemukakan alasan bagi pernyataannya itu dengan mengemukakan sebagian ayat al-Qur'an dan hadits Nabi saw: "Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas dosa orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan..." (Muhammad: 19) Oleh karena itu, Rasulullah saw pertama-tama memerintahkan umatnya untuk menguasai ilmu tauhid, baru kemudian memohonkan ampunan yang berupa amal perbuatan. Walaupun perintah di dalam ayat itu ditujukan kepada Nabi saw, tetapi ayat ini juga mencakup umatnya. Dalil yang lainnya ialah ayat berikut ini: "... Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama..." (Fathir: 28) Ilmu pengetahuanlah yang menyebabkan rasa takut kepada Allah, dan mendorong manusia kepada amal perbuatan. Sementara dalil yang berasal dari hadits ialah sabda Rasulullah saw: "Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka dia akan diberi-Nya pemahaman tentang agamanya."2 Karena bila dia memahami ajaran agamanya, dia akan beramal, dan melakukan amalan itu dengan baik. Dalil lain yang menunjukkan kebenaran tindakan kita mendahulukan ilmu atas amal ialah bahwa ayat yang pertama kali diturunkan ialah "Bacalah." Dan membaca ialah kunci ilmu pengetahuan; dan setelah itu baru diturunkan ayat yang berkaitan dengan kerja; sebagai berikut: "Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah." (al-Muddatstsir: 1-4) Sesungguhnya ilmu pengetahuan mesti didahulukan atas amal perbuatan, karena ilmu pengetahuanlah yang mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil dalam keyakinan umat manusia; antara yang benar dan yang salah di dalam perkataan mereka; antara perbuatan-perbuatan yang disunatkan dan yang bid'ah dalam ibadah; antara yang benar dan yang tidak benar di dalam melakukan muamalah; antara tindakan yang halal dan tindakan yang haram; antara yang terpuji dan yang hina di dalam akhlak manusia; antara ukuran yang diterima dan ukuran yang ditolak; antara perbuatan dan perkataan yang bisa diterima dan yang tidak dapat diterima. Oleh sebab itu, kita seringkali menemukan ulama pendahulu kita yang memulai karangan mereka dengan bab tentang ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali ketika menulis buku Ihya' 'Ulum al-Din; dan Minhaj al-'Abidin. Begitu pula yang dilakukan oleh al-Hafizh al-Mundziri dengan bukunya at-Targhib wat-Tarhib. Setelah dia menyebutkan hadits-hadits tentang niat, keikhlasan, mengikuti petunjuk al-Qur'an dan sunnah Nabi saw; baru dia menulis bab tentang ilmu pengetahuan. Fiqh prioritas yang sedang kita perbincangkan ini dasar dan porosnya ialah ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan kita dapat mengetahui apa yang mesti didahulukan dan apa yang harus diakhirkan. Tanpa ilmu pengetahuan kita akan kehilangan arah, dan melakukan tindakan yang tidak karuan. Benarlah apa yang pernah diucapkan oleh khalifah Umar bin Abd al-Aziz, "Barangsiapa melakukan suatu pekerjaan tanpa ilmu pengetahuan tentang itu maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki."3 Keadaan seperti ini tampak dengan jelas pada sebagian kelompok kaum Muslimin, yang tidak kurang kadar ketaqwaan, keikhlasan, dan semangatnya; tetapi mereka tidak mempunyai ilmu pengetahuan, pemahaman terhadap tujuan ajaran agama, dan hakikat agama itu sendiri. Seperti itulah sifat kaum Khawarij yang memerangi Ali bin Abu Thalib r.a. yang banyak memiliki keutamaan dan sumbangan kepada Islam, serta memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan Rasulullah saw dari segi nasab, sekaligus menantu beliau yang sangat dicintai oleh beliau. Kaum Khawarij menghalalkan darahnya dan darah kaum Muslimin yang mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT. Mereka, kaum Khawarij ini, merupakan kelanjutan dari orang-orang yang pernah menentang pembagian harta yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, yang berkata kepada beliau dengan kasar dan penuh kebodohan: "Berbuat adillah engkau ini!" Maka beliau bersabda, "Celaka engkau! Siapa lagi yang adil, apabila aku tidak bertindak adil. Kalau aku tidak adil, maka engkau akan sia-sia dan merugi. " Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Sesungguhnya perkataan kasar yang disampaikan kepada Rasulullah saw ialah 'Wahai Rasulullah, bertaqwalah engkau kepada Allah." Maka Rasulullah saw menyergah ucapan itu sambil berkat, "Bukankah aku penghuni bumi yang paling bertaqwa kepada Allah?" Orang yang mengucapkan perkataan itu sama sekali tidak memahami siasat Rasulullah saw untuk menundukkan hati orang-orang yang baru masuk Islam, dan pengambilan berbagai kemaslahatan besar bagi umatnya, sebagaimana yang telah disyari'ahkan oleh Allah SWT dalam kitab suci-Nya. Rasulullah saw diberi hak untuk melakukan tindakan terhadap shadaqah yang diberikan oleh kaum Muslimin. Lalu bagaimana halnya dengan harta pampasan perang? Ketika sebagian sahabat memohon izin kepada Rasulullah saw untuk membunuh para pembangkang itu, beliau yang mulia melarangnya; kemudian memperingatkan mereka tentang munculnya kelompok orang seperti itu dengan bersabda: "Kalian akan meremehkan (kuantitas) shalat kalian dibandinglan dengan shalat yang mereka lakukan, meremehkan (kuantitas ) puasa kalian dibandingkan dengan puasa yang mereka lakukan; dan kalian akan meremehkan (kuantitas) amal kalian dibandingkan dengan amal mereka. Mereka membaca al-Qur'an tetapi tidak lebih dari kerongkongan mereka. Mereka menyimpang dari agama (ad-Din) bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya." Makna ungkapan "fidak lebih dari kerongkongan mereka" ialah bahwa hati mereka tidak memahami apa yang mereka baca, dan akal mereka tidak diterangi dengan bacaan ayat-ayat itu. Mereka sama sekali tidak memanfaatkan apa yang mereka baca itu, walaupun mereka banyak mendirikan shalat dan melakukan puasa. Di antara sifat yang ditunjukkan oleh Nabi tentang kelompok itu ialah bahwa, "Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala."4 Kesalahan fatal yang dilakukan oleh mereka bukanlah terletak pada perasaan dan niat mereka, tetapi lebih berada pada akal pikiran dan pemahaman mereka. Oleh karena itu, mereka dikatakan dalam hadits yang lain sebagai: "Orang-orang muda yang memilih impian yang bodoh." 5 Mereka baru diberi sedikit ilmu pengetahuan, dengan pemahaman yang tidak sempurna, tetapi mereka tidak mau memanfaatkan kitab Allah padahal mereka membacanya dengan sangat baik, tetapi bacaan yang tidak disertai dengan pemahaman. Mungkin mereka memahaminya dengan cara yang tidak benar, sehingga bertentangan dengan maksud ayat yang diturunkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, Imam Hasan al-Bashri memperingatkan orang yang tekun beribadah dan beramal, tetapi tidak membentenginya dengan ilmu pengetahuan dan pemahaman. Dia mengucapkan perkataan yang sangat dalam artinya, "Orang yang beramal tetapi tidak disertai dengan ilmu pengetahuan tentang itu, bagaikan orang yang melangkahkan kaki tetapi tidak meniti jalan yang benar. Orang yang melakukan sesuatu tetapi tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu, maka dia akan membuat kerusakan yang lebih banyak daripada perbaikan yang dilakukan. Carilah ilmu selama ia tidak mengganggu ibadah yang engkau lakukan. Dan beribadahlah selama ibadah itu tidak mengganggu pencarian ilmu pengetahuan. Karena ada sebagian kaum Muslimin yang melakukan ibadah, tetapi mereka meninggalkan ilmu pengetahuan, sehingga mereka keluar dengan pedang mereka untuk membunuh umat Muhammad saw. Kalau mereka mau mencari ilmu pengetahuan, niscaya mereka tidak akan melakukan seperti apa yang mereka lakukan itu."6 ILMU MERUPAKAN SYARAT BAGI PROFESI KEPEMIMPINAN (POLITIK, MILITER, DAN KEHAKIMAN) Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan syarat bagi semua profesi kepemimpinan, baik dalam bidang politik maupun administrasi. Sebagaimana yang dilakukan oleh Yusuf as ketika berkata kepada Raja Mesir: " ... sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami." Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan." (Yusuf: 54-55) Yusuf as menunjukkan keahliannya dalam pekerjaan besar yang ditawarkan kepadanya, yang mencakup pengurusan keuangan, ekonomi, perancangan, pertanian, dan logistik pada waktu itu. Yang terkandung di dalam keahlian itu ada dua hal; yakni penjagaan (yang lebih tepat dikatakan "kejujuran") dan ilmu pengetahuan (yang dimaksudkan di sini ialah pengalaman dan kemampuan). Kenyataan itu sesuai dengan apa yang dikatakan oleh salah seorang anak perempuan Nabi besar dalam surah al-Qashash: "... karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (al-Qashash: 26) Ia juga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam dunia militer; sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT ketika memberikan alasan bagi pemilihan Thalut sebagai raja atas bani Israil: "... Nabi (mereka) berkata, "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu pengetahuan yang luas dan tubuh yang perkasa..." (al-Baqarah, 247) Pedoman itu juga sepatutnya diberlakukan dalam dunia kehakiman, sehingga orang-orang yang hendak diangkat menjadi hakim diharuskan memenuhi syarat seperti syarat yang diberlakukan bagi orang yang hendak menjadi khalifah. Untuk menjadi hakim itu tidak cukup hanya dengan menyandang sebagai ulama yang bertaqlid kepada ulama lainnya. Karena pada dasarnya, ilmu pengetahuan merupakan kebenaran itu sendiri dengan berbagai dalilnya, dan bukan ilmu pengetahuan yang diberitahukan oleh Zaid atau Amr. Orang-orang yang bertaqlid kepada manusia yang lainnya tanpa ada alasan yang membenarkan tindakannya, atau ada alasannya tetapi sangat lemah, maka orang itu dianggap tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Keputusan hukum yang diterima dari orang yang melakukan taqlid, adalah sama dengan kekuasaan yang dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan, yang sangat penting. Akan tetapi ada batasan-batasan tertentu dan minimal bagi ilmu pengetahuan yang mesti dikuasai oleh hakim itu. Jika tidak, maka dia akan membuat keputusan hukum berdasarkan kebodohan dan akan menjadikannya sebagai penghuni neraka. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah dari Rasulullah saw bersabda, "Ada tiga golongan hakim. Dua golongan berada di neraka, dan satu golongan lagi berada di surga. Yaitu seorang yang mengetahui kebenaran kemudian dia membuat keputusan hukum dengan kebenaran itu, maka dia berada di surga. Seorang yang memberikan keputusan hukum yang didasarkan atas kebodohannya, maka dia berada di neraka. Kemudian seorang yang mengetahui kebenaran tetapi dia melakukan kezaliman dalam membuat keputusan hukum, maka dia berada di neraka."7 PENTINGNYA ILMU PENGETAHUAN BAGI MUFTI (PEMBERI FATWA) Persoalan yang serupa dengan kehakiman ialah pemberian fatwa. Seseorang tidak boleh memberikan fatwa kepada manusia kecuali dia seorang yang betul-betul ahli dalam bidangnya, dan memahami ajaran agamanya. Jika tidak, maka dia akan mengharamkan yang halal dan menghalalkan hal-hal yang haram; menggugurkan kewajiban, mewajibkan sesuatu yang tidak wajib, menetapkan hal-hal yang bid'ah dan membid'ahkan hal-hal yang disyariahkan; mengkafirkan orang-orang yang beriman dan membenarkan orang-orang kafir. Semua persoalan itu, atau sebagiannya, terjadi karena ketiadaan ilmu dan fiqh. Apalagi bila hal itu disertai dengan keberanian yang sangat berlebihan dalam memberikan fatwa, serta melanggar larangan bagi siapa yang mau melakukannya. Hal ini dapat kita lihat pada zaman kita sekarang ini, di mana urusan agama telah menjadi barang santapan yang empuk bagi siapa saja yang mau menyantapnya; asal memiliki kemahiran dalam berpidato, keterampilan menulis; padahal al-Qur'an, sunnah Nabi saw, dan generasi terdahulu umat ini sangat berhati-hati dalam menjaga hal ini. Tidak ada orang yang berani melakukan hal itu kecuali orang-orang yang benar-benar mempunyai keahlian di dalam bidangnya, serta memenuhi syarat untuk persoalan tersebut. Betapa sulit sebenarnya untuk memenuhi syarat-syarat itu. Sebenarnya Nabi saw sangat tidak suka kepada orang yang tergesa-gesa memberikan fatwa pada zamannya. Ada sebagian orang yang memberikan fatwa kepada salah seorang di antara mereka yang terluka ketika mereka berjinabat untuk mandi, tanpa mempedulikan luka yang dideritanya. Sehingga hal itu menyebabkan kematiannya. Maka Rasulullah saw bersabda, "Karena mereka telah membunuhnya, maka semoga Allah akan membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak tahu. Sebenarnya kalau mereka mau bertanya, maka orang itu bisa sembuh. Sebenarnya bagi orang seperti itu hanya cukup bertayammum saja..." 8 Lihatlah bagaimana Rasulullah saw menganggap bahwa fatwa yang diberikan oleh mereka sama dengan pembunuhan terhadap orang tersebut, sehingga beliau mendoakan mereka, "Semoga Allah juga membunuh mereka." Oleh karena itu, fatwa yang keluar dari kebodohan dapat membunuh jiwa dan membawa kerusakan. Dan pada akhirnya, Ibn al-Qayyim dan ulama yang lainnya sepakat untuk mengharamkan pemberian fatwa dalam urusan agama tanpa disertai dengan ilmu pengetahuan; berdasarkan firman Allah SWT: "... dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (al-A'raf: 33) Banyak sekali hadits, qaul sahabat, dan generasi terdahulu umat ini yang melarang pemberian fatwa bagi orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan. Ibn Sirin berkata, "Seorang lelaki yang mati dalam keadaan bodoh itu lebih baik daripada dia mati dalam keadaan berkata tentang sesuatu yang dia tidak mempunyai ilmu pengetahuan tentang itu." Abu Hushain al-Asy'ari berkata, "Sesungguhnya salah seorang di antara mereka ada yang memberi fatwa dalam suatu masalah. Jika hal ini berlaku pada zaman Umar, maka dia akan mengumpulkan para pejuang Perang Badar." Lalu, bagaimana bila Umar melihat keberanian orang pada zaman kita sekarang ini? Ibn Mas'ud dan Ibn 'Abbas berkata, "Barangsiapa memberi fatwa kepada orang ramai tentang apa saja yang mereka tanyakan kepadanya, maka dia termasuk orang gila." Abu Bakar berkata, "kangit mana yang melindungi diriku dan bumi mana yang akan menjadi tempat pijakanku, kalau aku mengatakan sesuatu yang tidak kuketahui." Ali berkata, "Hatiku menjadi sangat tenang --dia mengucapkannya sebanyak tiga kali-- bila ada seorang lelaki yang ditanya tentang sesuatu yang dia ketahui, tetapi dia tetap mengatakan, 'Allah yang Maha Tahu.'" Ibn al-Musayyab, tokoh senior tabi'in, apabila dia hendak memberikan fatwa dia berkata, "Ya Allah, selamatkan aku, dan benarkan apa yang keluar dari diriku." Semua ini menunjukkan bahwa kita perlu sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa. Selain itu, fatwa harus diberikan oleh orang-orang yang betul-betul memiliki ilmu pengetahuan, wawasan yang luas, wara', yang menjaga diri dari setiap kemaksiatan, tidak menuruti hawa nafsunya sendiri atau hawa nafsu orang lain. Atas dasar uraian tersebut, sangatlah mengherankan bila para pelajar ilmu syariah --kebanyakan pelajar yang baru masuk pada fakultas ini-- tergesa gesa memberikan fatwa dalam berbagai persoalan yang sangat pelik, problema yang sangat penting, mendahului para ulama besar, dan bahkan berani menentang para imam mazhab besar, para sahabat yang mulia, dengan menyombongkan diri seraya mengatakan, "Mereka orang lelaki, dan kamipun orang lelaki." Pertama-tama yang diperlukan oleh seseorang yang hendak memberikan fatwa ialah mengukur kemampuan dirinya sendiri, kemudian memahami berbagai tujuan syari'ah, memahami hakikat dan kenyataan hidup. Akan tetapi,sangat disayangkan bahwa mereka tertutup oleh penghalang yang sangat besar, yaitu ketertipuan dengan diri mereka sendiri. Sesungguhnya tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah SWT. PENTINGNYA ILMU PENGETAHUAN BAGI DA'I DAN GURU (MUROBI) Jika ilmu pengetahuan harus dimiliki oleh orang yang bergelut dalam dunia kehakiman dan fatwa, maka dia juga diperlukan oleh dunia da'wah dan pendidikan. Allah SWT berfirman: "Katakanlah: "Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata..." (Yusuf: 108) Setiap juru da'wah --dari pengikut Nabi saw-- harus melandasi da'wahnya dengan hujjah yang nyata. Artinya, da'wah yang dilakukan olehnya mesti jelas, berdasarkan kepada hujjah-hujjah yang jelas pula. Dia harus mengetahui akan dibawa ke mana orang yang dida'wahi olehnya? Siapa yang dia ajak? Dan bagaimana cara dia berda'wah? Oleh karena itu, mereka berkata tentang orang rabbani: yaitu orang yang berilmu, beramal, dan mengajarkan ilmunya; sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah SWT: "... akan tetapi (dia) berkata, 'Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (yang sempurna ilmu dan taqwanya kepada Allah), karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu telah mempelajarinya." (Ali 'Imran: 79) Ibn Abbas memberikan penafsiran atas kata "rabbani" sebagai para ahli hikmah sekaligus fuqaha.9 Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan rabbani ialah orang yang mengajar manusia dengan ilmu kecilnya sebelum ilmu itu menjadi besar. Yang dimaksud dengan ilmu kecil ialah ilmu yang sederhana dan persoalannya jelas. Sedangkan ilmu besar ialah ilmu yang pelik-pelik. Ada pula yang mengatakan bahwa rabbani ialah orang yang mengajarkan ilmu-ilmu yang parsial sebelum ilmu-ilmu yang universal, atau ilmu-ilmu cabang sebelum ilmu-ilmu yang pokok, ilmu-ilmu pengantar sebelum ilmu-ilmu yang inti.10 Yang dimaksudkan dengan pernyataan itu ialah bahwa pengajaran itu dilakukan secara bertahap, dengan memperhatikan kondisi dan kemampuan orang yang diajarnya, sehingga dapat ditingkatkan sedikit demi sedikit. Persoalan yang perlu diperhatikan oleh orang yang bergerak dalam bidang da'wah dan pendidikan ialah bahwa juru da'wah dan pendidik itu mesti mengambil jalan yang paling mudah dan bukan jalan yang susah; memberikan kabar gembira dan tidak menakut-nakuti mereka; sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang disepakati ke-shahih-annya oleh Bukhari dan Muslim, "Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari."11 Al-Hafizh ketika memberikan penjelasan terhadap hadits ini mengatakan, "Yang dimaksudkan dengan hal ini ialah menarik simpati hati orang yang hampir dekat dengan Islam, dan tidak melakukan da'wah dengan cara yang keras dan kasar pada awal mula kegiatan da'wah itu. Begitu pula hendaknya kecaman terhadap orang yang suka melakukan kemaksiatan. Kecaman itu hendaknya dilakukan secara bertahap. Karena sesungguhnya sesuatu yang pada tahap awalnya dapat dilakukan dengan mudah, maka orang akan bertambah senang untuk memasukinya dengan hati yang lapang. Pada akhirnya, dia akan bertambah baik sedikit demi sedikit. Berbeda dengan cara berda'wah yang dilakukan dengan keras dan kasar." 12 Yang dimaksudkan dengan perkataan ,mempermudah, di situ bukanlah terbatas pada orang-orang yang hampir dekat hatinya dengan Islam, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafizh, tetapi ia berlaku lebih umum dan permanen. Misalnya mempermudah jalan bagi orang yang hendak melakukan taubat, atau kepada setiap orang yang memerlukan keringanan; seperti orang yang sakit atau sudah tua usianya, atau orang yang berada di dalam keadaan yang mendesak. Di antara keharusan yang berlaku di dalam ilmu pengetahuan ialah upaya untuk mencari ilmu-ilmu agama sejauh kemampuan yang dimiliki oleh seseorang, sesuai dengan kadar kemampuan otaknya untuk menerima ilmu pengetahuan tersebut. Dia tidak boleh mengucapkan sesuatu yang tidak cocok dengan akal pikirannya, sehingga hal itu malah berbalik menjadi fitnah bagi dirinya dan juga kepada orang lain. Sehubungan dengan hal ini Ali r.a. berkata, "Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar pengetahuan mereka. Tinggalkan apa yang tidak cocok dengan akal pikiran mereka. Apakah engkau menghendaki mereka mengatakan sesuatu yang bohong terhadap Allah dan rasul-Nya?" 13 Ibn Mas'ud r.a. berkata, "Engkau tidak layak menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kadar kemampuan otak mereka. Jika tidak, maka engkau akan menimbulkan fitnah pada sebagian orang itu."14. Catatan Kaki: 1 Diriwayatkan oleh Ibn 'Abd al-Barr dan lainnya dari Mu'adz, sebagai hadits marfu' dan mauquf, tetapi hadits ini lebih benar digolongkan kepada hadits mauquf. 2 Baca, Shahih al-Bukhari dan Fath al-Bari, 1:158-162, cet. Dar al-Fikr yang disalin dari naskah lama. 3 Baca Jami' Bayan al-'Ilm wa Fadhlih, karangan Ibn 'Abd al-Barr, 1:27, cet. Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah 4 Lihatlah sifat-sifat mereka dalam buku al-Lu'lu' wa al-Marjan fima Ittafaqa 'alaih al-Syaikhani, khususnya hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Jabir, Abu Sa'id, Ali, dan Sahal bin Hunaif (638-644). 5 Hadits Ali, Ibid. 6 Ucapan ini dikutip oleh Ibn Hazm dalam bukunya, Miftah Dar al-Sa'adah, h. 82 7 Diriwayatkan oleh para penulis Sunan Arba'ah dan al-Hakim; sebagai mana diriwayatkan oleh Thabrani dan Abu Ya'la, dan Baihaqi dari Ibn Umar; seperti yang dimuat di dalam al-Jami' as-Shaghir. (4446) dan (4447). 8 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir, dan diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim dari Ibn 'Abbas. Lihat Shahih al-Jami' as-Shaghir (4362) dan (4363). 9 Hal ini disebutkan oleh Bukhari ketika memberikan komentar pada bab "Ilmu" dalam Shahih-nya. Al-Hafizh berkata dalam Fath-nya, "Hadits ini sampai Ibn Abi 'Ashim dengan isnad hasan. Dan juga diriwayatkan oleh al-Khathib dengan isnad hasan yang berbeda." 1: 161 10 al-Fath, 1: 162 11 Diriwayatkan oleh al-Syaikhani dari Anas, sebagaimana disebutkan di dalam al-Lu'lu' wa al-Marjan 12 al-Fath, 1: 163 13 Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab al-'Ilm, secara mauquf atas Ali r.a. (Lihar al-Fath. 1 225) 14 Diriwayatkan oleh Muslim dalam mukadimah as-Shahih secara mauquf atas Ibn Mas'ud. Ibid.   ------------------------------------------------------ FIQH PRIORITAS Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah Dr. Yusuf Al Qardhawy Robbani Press, Jakarta Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

WANITA BERHIAS DI SALON KECANTIKAN


 

WANITA BERHIAS DI SALON KECANTIKAN
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Apakah boleh wanita Muslimat menghias (mempercantik) dirinya
di  tempat-tempat  tertentu,  misalnya  pada  saat ini, yang
dinamakan salon kecantikan, dengan alasan keadaan masa  kini
bagi wanita  sangat penting untuk tampil dengan perlengkapan
dan cara-cara berhias seperti itu yang bersifat modren?
 
Selain itu, bolehkah wanita memakai rambut palsu atau  tutup
kepala yang dibuat khusus untuk itu?
 
JAWAB
 
Agama  Islam  menentang kehidupan yang bersifat kesengsaraan
dan menyiksa diri, sebagaimana yang telah dipraktekkan  oleh
sebagian  dari pemeluk agama lain dan aliran tertentu. Agama
Islam pun menganjurkan bagi  ummatnya  untuk  selalu  tampak
indah   dengan   cara   sederhana   dan  layak,  yang  tidak
berlebih-lebihan. Bahkan Islam menganjurkan di  saat  hendak
mengerjakan  ibadat,  supaya  berhias diri disamping menjaga
kebersihan dan kesucian tempat maupun pakaian.
 
Allah swt. berfirman:
 
     "... pakailah pakaianmu yang indah pada setiap
     (memasuki) masjid ..." (Q.s.Al-A'raaf: 31)
 
Bila Islam sudah menetapkan hal-hal yang  indah,  baik  bagi
laki-laki  maupun  wanita, maka terhadap wanita, Islam lebih
memberi  perhatian  dan   kelonggaran,   karena   fitrahnya,
sebagaimana  dibolehkannya memakai kain sutera dan perhiasan
emas, dimana hal itu diharamkan bagi kaum laki-laki.
 
Adapun hal-hal  yang  dianggap  oleh  manusia  baik,  tetapi
membawa  kerusakan  dan  perubahan  pada tubuhnya, dari yang
telah diciptakan oleh Allah swt, dimana perubahan itu  tidak
layak  bagi  fitrah  manusia,  tentu  hal  itu pengaruh dari
perbuatan setan yang hendak memperdayakan. Oleh karena  itu,
perbuatan tersebut dilarang. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad
saw.:
 
     "Allah melaknati pembuatan tatto, yaitu menusukkan
     jarum ke kulit dengan warna yang berupa tulisan,
     gambar bunga, simbol-simbol dan sebagainya;
     mempertajam gigi, memendekkan atau menyambung
     rambut dengan rambut orang lain, (yang bersifat
     palsu, menipu dan sebagainya)." (Hadis shahih).
 
Sebagaimana riwayat Said bin Musayyab, salah seorang sahabat
Nabi  saw.  ketika Muawiyah berada di Madinah setelah beliau
berpidato,  tiba-tiba  mengeluarkan  segenggam  rambut   dan
mengatakan,  "Inilah  rambut  yang dinamakan Nabi saw. azzur
yang artinya  atwashilah  (penyambung),  yang  dipakai  oleh
wanita  untuk menyambung rambutnya, hal itulah yang dilarang
oleh Rasulullah saw. dan  tentu  hal  itu  adalah  perbuatan
orang-orang Yahudi. Bagaimana dengan Anda, wahai para ulama,
apakah kalian tidak melarang  hal  itu?  Padahal  aku  telah
mendengar   sabda  Nabi  saw.  yang  artinya,  'Sesungguhnya
terbinasanya orang-orang Israel itu  karena  para  wanitanya
memakai itu (rambut palsu) terus-menerus'." (H.r. Bukhari).
 
Nabi  saw.  menamakan  perbuatan  itu  sebagai  suatu bentuk
kepalsuan, supaya tampak hikmah sebab  dilarangnya  hal  itu
bagi kaum wanita, dan karena hal itu juga merupakan sebagian
dari tipu muslihat.
 
Bagi wanita yang menghias rambut atau lainnya di salon-salon
kecantikan,  sedang  yang  menanganinya (karyawannya) adalah
kaum laki-laki. Hal itu jelas  dilarang,  karena  bukan saja
bertemu  dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, tetapi lebih
dari itu, sudah pasti itu haram, walaupun dilakukan di rumah
sendiri.
 
Bagi  wanita  Muslimat  yang tujuannya taat kepada agama dan
Tuhannya, sebaiknya berhias diri di rumahnya  sendiri  untuk
suaminya,  bukan  di  luar  rumah atau di tengah jalan untuk
orang lain. Yang  demikian  itu  adalah  tingkah  laku  kaum
Yahudi yang menginginkan cara-cara moderen dan sebagainya.
 
---------------------------------------------------
Fatawa Qardhawi: Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Cetakan Kedua, 1996
Penerbit Risalah Gusti
Jln. Ikan Mungging XIII/1
Telp./Fax. (031) 339440
Surabaya 60177

Senin, 18 April 2011

HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI-ISTRI

HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI-ISTRI
Dr. Yusuf Al-Qardhawi

Pertanyaan:

Sebagaimana diketahui, bahwa seorang Muslim tidak boleh malu
untuk menanyakan apa saja yang berkaitan dengan hukum
agama, baik yang bersifat umum maupun pribadi.

Oleh karena itu, izinkanlah kami mengajukan suatu pertanyaan
mengenai hubungan seksual antara suami-istri yang
berdasarkan agama, yaitu jika si istri menolak ajakan
suaminya dengan alasan yang dianggap tidak tepat atau tidak
berdasar. Apakah ada penetapan dan batas-batas tertentu
mengenai hal ini, serta apakah ada petunjuk-petunjuk yang
berdasarkan syariat Islam untuMk mengatur hubungan kedua
pasangan, terutama dalam masalah seksual tersebut?

Jawab:

Benar, kita tidak boleh bersikap malu dalam memahami ilmu
agama, untuk menanyakan sesuatu hal. Aisyah r.a. telah
memuji wanita Anshar, bahwa mereka tidak dihalangi sifat
malu untuk menanyakan ilmu agama. Walaupun dalam
masalah-masalah yang berkaitan dengan haid, nifas, janabat,
dan lain-lainnya, di hadapan umum ketika di masjid, yang
biasanya dihadiri oleh orang banyak dan di saat para ulama
mengajarkan masalah-masalah wudhu, najasah (macam-macam
najis), mandi janabat, dan sebagainya.

Hal serupa juga terjadi di tempat-tempat pengajian Al-Qur'an
dan hadis yang ada hubungannya dengan masalah tersebut, yang
bagi para ulama tidak ada jalan lain, kecuali dengan cara
menerangkan secara jelas mengenai hukum-hukum Allah dan
Sunnah Nabi saw. dengan cara yang tidak mengurangi
kehormatan agama, kehebatan masjid dan kewibawaan para
ulama.

Hal itu sesuai dengan apa yang dihimbau oleh ahli-ahli
pendidikan pada saat ini. Yakni, masalah hubungan ini, agar
diungkapkan secara jelas kepada para pelajar, tanpa ditutupi
atau dibesar-besarkan, agar dapat dipahami oleh mereka.

Sebenarnya, masalah hubungan antara suami-istri itu
pengaruhnya amat besar bagi kehidupan mereka, maka hendaknya
memperhatikan dan menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan
kesalahan dan kerusakan terhadap kelangsungan hubungan
suami-istri. Kesalahan yang bertumpuk dapat mengakibatkan
kehancuran bagi kehidupan keluarganya.

Agama Islam dengan nyata tidak mengabaikan segi-segi dari
kehidupan manusia dan kehidupan berkeluarga, yang telah
diterangkan tentang perintah dan larangannya. Semua telah
tercantum dalam ajaran-ajaran Islam, misalnya mengenai
akhlak, tabiat, suluk, dan sebagainya. Tidak ada satu hal
pun yang diabaikan (dilalaikan).

1. Islam telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan
dorongannya akan seksual, serta ditentangnya tindakan
ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor. Oleh karena
itu, Islam melarang bagi orang yang hendak menghilangkan dan
memfungsikannya dengan cara menentang orang yang berkehendak
untuk selamanya menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi
saw, yaitu menikah.

Nabi saw. telah menyatakan sebagai berikut:

"Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan aku lebih
khusyu, kepada Allah daripada kamu, tetapi aku bangun malam,
tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka,
barangsiapa yang tidak senang (mengakui) sunnahku, maka dia
bukan termasuk golonganku."

2. Islam telah menerangkan atas hal-hal kedua pasangan
setelah pernikahan, mengenai hubungannya dengan cara
menerima dorongan akan masalah-masalah seksual, bahkan
mengerjakannya dianggap suatu ibadat. Sebagaimana keterangan
Nabi saw.:

"Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala)." Para sahabat
bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh
dengan istri akan mendapat pahala?" Rasulullah saw.
menjawab, "Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang
dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakuknn
pada tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya
menghitung hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tidak
menghitung hal-hal yang baik."

Berdasarkan tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang
lebih agresif, tidak memiliki kesabaran dan kurang dapat
menahan diri. Sebaliknya wanita itu bersikap pemalu dan
dapat menahan diri.

Karenanya diharuskan bagi wanita menerima dan menaati
panggilan suami. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis:

"Jika si istri dipanggil oleh suaminya karena perlu, maka
supaya segera datang, walaupun dia sedang masak." (H.r.
Tirmidzi, dan dikatakan hadis Hasan).

Dianjurkan oleh Nabi saw. supaya si istri jangan sampai
menolak kehendak suaminya tanpa alasan, yang dapat
menimbulkan kemarahan atau menyebabkannya menyimpang ke
jalan yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tegang.

Nabi saw. telah bersabda:

"Jika suami mengajak tidur si istri lalu dia menolak,
kemudian suaminya marah kepadanya, maka malaikat akan
melaknat dia sampai pagi." (H.r. Muttafaq Alaih).

Keadaan yang demikian itu jika dilakukan tanpa uzur dan
alasan yang masuk akal, misalnya sakit, letih, berhalangan,
atau hal-hal yang layak. Bagi suami, supaya menjaga hal itu,
menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah swt. adalah
Tuhan bagi hamba-hambaNya Yang Maha Pemberi Rezeki dan
Hidayat, dengan menerima uzur hambaNya. Dan hendaknya
hambaNya juga menerima uzur tersebut.

Selanjutnya, Islam telah melarang bagi seorang istri yang
berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya lebih
diutamakan untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala
puasa.

Nabi saw. bersabda:

"Dilarang bagi si istri (puasa sunnah) sedangkan suaminya
ada, kecuali dengan izinnya." (H.r. Muttafaq Alaih).

Disamping dipeliharanya hak kaum laki-laki (suami) dalam
Islam, tidak lupa hak wanita (istri) juga harus dipelihara
dalam segala hal. Nabi saw. menyatakan kepada laki-laki
(suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam.

Beliau bersabda:

"Sesungguhnya bagi jasadmu ada hak dan hagi keluargamu
(istrimu) ada hak."

Abu Hamid Al-Ghazali, ahli fiqih dan tasawuf? dalam kitab
Ihya' mengenai adab bersetubuh, beliau berkata:

"Disunnahkan memulainya dengan membaca Bismillahirrahmaanir-
rahiim dan berdoa, sebagaimana Nabi saw. mengatakan:

"Ya Allah,jauhkanlah aku dan setan dan jauhkanlah setan dari
apa yang Engkau berikan kepadaku'."

Rasulullah saw. melanjutkan sabdanya, "Jika mendapat anak,
maka tidak akan diganggu oleh setan."

Al-Ghazali berkata, "Dalam suasana ini (akan bersetubuh)
hendaknya didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan
dan sebagainya; dan menutup diri mereka dengan selimut,
jangan telanjang menyerupai binatang. Sang suami harus
memelihara suasana dan menyesuaikan diri, sehingga kedua
pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa puas."

Berkata Al-Imam Abu Abdullah Ibnul Qayyim dalam kitabnya
Zaadul Ma'aad Fie Haadii Khainrul 'Ibaad, mengenai sunnah
Nabi saw. dan keterangannya dalam cara bersetubuh.
Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata:

Tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu ialah:

1. Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah
yang ditetapkan menurut takdir Allah.

2. Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan
jika ditahan terus.

3. Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana
kelak di surga.

Ditambah lagi mengenai manfaatnya, yaitu: Menundukkan
pandangan, menahan nafsu, menguatkan jiwa dan agar tidak
berbuat serong bagi kedua pasangan. Nabi saw. telah
menyatakan:

"Yang aku cintai di antara duniamu adalah wanita dan
wewangian."

Selanjutnya Nabi saw. bersabda:

"Wahai para pemuda! Barangsiapa yang mampu melaksanakan
pernikahan, maka hendaknya menikah. Sesungguhnya hal itu
menundukkan penglihatan dan memelihara kemaluan."

Kemudian Ibnul Qayyim berkata, "Sebaiknya sebelum
bersetubuh hendaknya diajak bersenda-gurau dan menciumnya,
sebagaimana Rasulullah saw. melakukannya."

Ini semua menunjukkan bahwa para ulama dalam usaha mencari
jalan baik tidak bersifat konservatif, bahkan tidak kalah
kemajuannya daripada penemuan-penemuan atau pendapat masa
kini.

Yang dapat disimpulkan di sini adalah bahwa sesungguhnya
Islam telah mengenal hubungan seksual diantara kedua
pasangan, suami istri, yang telah diterangkan dalam
Al-Qur'anul Karim pada Surat Al-Baqarah, yang ada
hubungannya dengan peraturan keluarga.

Firman Allah swt.:

"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa, bercampur
dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu,
dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu,
Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah kamu, hingga
jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beriktikaf
dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya ..." (Q.s. Al-Baqarah: 187).

Tidak ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai
hubungan antara suami-istri, kecuali yang telah disebutkan,
yaitu:

"Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka." (Q.s. Al-Baqarah 187).

Pada ayat lain juga diterangkan, yaitu:

"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: Haid itu
adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka
telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang
menyucikan diri.

Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok
tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu
dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah
(amal yang baik) untuk dirimu, dan takwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemuiNya. Dan
berilah kabar gembira bagi orang-orang yang beriman." (Q.s.
Al-Baqarah: 222-223).

Maka, semua hadis yang menafsirkan bahwa dijauhinya yang
disebut pada ayat di atas, hanya masalah persetubuhan saja.
Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak dilarang.

Pada ayat di atas disebutkan:

"Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu dengan cara
bagaimanapun kamu kehendaki." (Q.s. Al-Baqarah: 223).

Tidak ada suatu perhatian yang melebihi daripada disebutnya
masalah dan undang-undang atau peraturannya dalam
Al-Qur'anul Karim secara langsung, sebagaimana diterangkan
di atas.

---------------------------------------------------
FATAWA QARDHAWI, Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Penerbit Risalah Gusti
Cetakan Kedua, 1996
Jln. Ikan Mungging XIII/1
Telp./Fax. (031) 339440
Surabaya 60177

Taubat Orang yang Tidak Dapat Melakukan Maksiat. Tuntunan Bertaubat kepada Allah SWT oleh Dr. Yusuf al Qaradhawi ( XXI )

Taubat Orang yang Tidak Dapat Melakukan Maksiat

Di antara pertanyaan yang timbul di sini adalah: apa hukum orang yang berbuat maksiat, jika saat bertaubat ia sudah tidak dapat lagi melakukan kemaksiatan yang ia taubatkan itu, atau ia sudah telah melemah sehingga tidak mungkin lagi melakukannya; apakah taubatnya itu sah?
.
Seperti orang yang berbohong, yang mengqadzaf orang lain, dan orang yang memberikan kesaksian palsu, jika lidah orang itu telah terpotong (karena suatu kecelakaan dan sebagainya). Orang yang berzina jika ia telah kehilangan nafsu untuk berzina. Penguasa yang zalim jika ia telah diberhentikan dari kedudukannya, dan ia tidak mampu lagi berbuat zhalim. Dan seluruh orang yang telah sampai pada titik ia tidak mempunyai dorongan lagi untuk berbuat maksiat.

Ibnu Qayyim berkata: dalam masalah ini ada dua pendapat.

Satu kelompok ulama berkata: taubatnya tidak sah. Karena taubat itu seharusnya dilakukan oleh orang yang masih mungkin menjalankan atau meninggalkan perbuatan maksiat yang ia taubatkan itu. Taubat dilakukan terhadap sesuatu yang dapat dikerjakan, bukan terhadap sesuatu yang mustahil dikerjakan. Oleh karena itu tidak dapat dibayangkan taubat atas memindahkan gunung dari tempatnya, mengeringkan lautan, terbang di udara tanpa alat atau sejenisnya.

Mereka berkata: karena taubat adalah mengalahkan dorongan nafsu, dan mengikuti panggilan kebenaran. Sementara dalam masalah tadi tidak ada dorongan nafsu lagi, karena ia tahu tidak akan mampu mengerjakannya.

Mereka berkata: ini adalah seperti orang yang dipaksa untuk meninggalkan sesuatu pekerjaan, dan ditugaskan secara paksa pula. Orang yang seperti ini tidak sah taubatnya.

Mereka berkata: yang diterima fitrah dan akal manusia adalah, taubat orang yang pailit dan yang kejepit, adalah taubat yang tidak dapat diterima, dan tidak terpuji. Malah mereka menamakannya sebagai taubat orang pailit dan taubat orang kejepit.

Seorang penyair berkata: "Maka segera ku tanyakan tentang taubatnya ku dapati ternyata taubatnya adalah taubat orang yang pailit"!

Mereka berkata: ini juga menunjukkan bahwa teks-teks yang banyak dan jelas menunjukkan bahwa taubat yang dilakukan ketika datang maut adalah tidak bermanfaat. Karena itu adalah taubat orang yang kepepet dan tidak memiliki pilihan lain: Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: Sesungguhnya saya bertaubat sekarang. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih." [QS. an Nisa: 17-18]

Dan "al-jahalah" di sini maksudnya adalah: ketidak tahuan kerja, meskipun ia tahu akan keharaman itu. Qatadah berkata: para sahabat Rasulullah Saw berijma' bahwa seluruh perbuatan yang di dalamnya Allah SWT dimaksiati adalah kebodohan. Baik secara sengaja atau tidak. Dan seluruh orang yang maksiat kepada Allah SWT adalah orang yang bodoh. Sedangkan taubat secepatnya adalah: menurut mayoritas mufassir, taubat itu adalah taubat sebelum orang itu menghadapi ajalnya. Ikrimah berkata: ia adalah taubat sebelum mati. Dhahhak berkata: ia adalah taubat sebelum menjumpai malaikat maut. As-Sudi dan al Kulabi berkata: yaitu agar orang bertaubat pada waktu sehatnya dan sebelum ia sakit menjelang matinya.

[Sayyid Rasyid Ridha memberikan komentar atas pendapat-pendapat itu: manusia banyak tertipu dengan zhahir pendapat-pendapat ini dalam menafsirkan ayat-ayat al Quran dan hadist-hadits itu, membuat mereka banyak menunda taubat, dan terus melakukan kemaksiatan, sehingga kemaksiatan itu melekat kuat dalam hati mereka, dan nafsu mereka menyenanginya. Hal itu kemudian menjadi instink dan kebiasaan yang tidak dapat --atau sulit-- untuk mereka lepaskan, kecuali dalam kasus yang langka saja. Hingga datang ajal mereka, sementara mereka masih bergelimang dalam nafsu mereka. Makna ayat itu bukanlah: bahwa taubat yang diridhai dan dijamin diterima oleh Allah SWT adalah taubat atas kemaksiatan yang terus dilakukan oleh seseorang hingga menjelang sakratul maut, hingga beberapa jam atau beberapa menit sebelumnya. Namun yang dimaksudkan adalah: bertaubat tidak lama setelah melakukan sesuatu dosa, sambil tidak mengulanginya lagi, seperti disebutkan pada ayat yang lain. Dan barangkali yang dimaksudkan Ikrimah, Dhahhak dan yang lainnya untuk menyesuaikan dengan makna hadits; bahwa Allah SWT akan menerima taubat seseorang yang berbuat maksiat selama orang itu belum sekarat. Maksudnya, seandainya ia bertaubat pada suatu waktu, sebelum datang sakratul maut dan ajal tiba, niscaya taubatnya akan diterima. Dan itu tidak bertentangan dengan ayat. Karena manusia mungkin ada yang datang keinginan taubatnya beberapa saat sebelum sakratul maut atau ajalnya tiba, terhadap dosanya yang belum lama ia lakukan, namun jarang ada orang yang bertaubat dari dosa yang telah ia lakukan semenjak lama dan terus menerus, dan jikapun ia bertaubat dari macam dosa yang disebut terakhir itu, maka jarang sekali orang seperti itu dapat memperbaiki apa yang telah ia rusak, disebabkan dosa yang ia lakukan secara terus menerus itu. Sesuai dengan firman Allah SWT: "Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar. Kesimpulannya: Yang dimaksudkan adalah terus menerus melakukan dosa dan menunda-nunda untuk bertaubat adalah berbahaya, meskipun taubat dari dosa semacam itu masih dapat diterima jika dilakukan dalam waktu ikhtiar (sebelum sakratul maut tiba), namun biasanya orang mati dalam keadaan sebagaimana ia sehari-harinya, selama ini, oleh karena itu orang-orang yang tertipu dengan menunda-nunda taubatnya hendaknya ia berhati-hati ]

Dalam musnad dan kitab lainya dari Ibnu Umar dari Nabi Saw bersabda:

"Sesungguhnya Allah SWT akan menerima taubat seorang hamba selama ia belum sekarat mati " .

Dalam naskah darraj dari Abi Sa'id secara marfu' disebutkan:

"Sesungguhnya syaitan berkata: demi kemuliaan-Mu ya Tuhan, aku akan terus berusaha menggoda hamba-hamba-Mu selama ruh mereka berada dalam tubuh mereka. Allah SWT berfirman: demi Kemuliaan-Ku, Keagungan-Ku dan Ketinggian kedudukan-Ku, Aku akan terus memberikan ampunan kepada hamba-hamba-Ku selama mereka meminta ampunan kepada-Ku." [Hadits ini dha'if, karena ia merupakan riwayat Darraj, dan dia adalah dha'if, terutama riwayatnya dari Abi Haitsam.]

Ini adalaah orang yang bertaubat secepatnya. Sedangkan orang yang bertaubat saat sekarat, dan ia berkata: saat ini aku bertaubat! Maka taubatnya tidak dapat diterima. Karena itu adalah taubat terpaksa bukan karena dorongan kesadararn diri. Ia adalah seperti taubat setelah matahari terbit dari Barat, pada hari kiamat, dan ketika menemui ajal.

Mereka berkata: karena hakikat taubat adalah: mencegah diri dari mengerjakan sesuatu yang dilarang. Dan tindakan itu dilakukan oleh orang yang mampu mengerjakannya,. Sedangkan orang yang tidak mungkin mengerjakannya, adalah tidak masuk akal jika nafsu dicegah untuk melakukan itu. Juga karena taubat adalah dengan membebaskan diri dari dosa, dan orang yang memang tidak dapat lagi mengerjakan dosa itu, bagaimana mungkin ia kemudian mencegah dirinya dari menjalankan dosa itu.

Mereka berkata: karena dosa adalah keinginan kuat untuk mengerjakan sesuatu yang diharamkan, serta diikuti dengan kemampuannya. Dan taubat darinya berarti: tekad yang kuat untuk meninggalkan perbuatan dosa yang dapat ia kerjakan itu, dilanjutkan dengan meninggalkannya. Sedangkan tekad untuk mengerjakan sesuatu yang tidak dapat ia kerjakan adalah mustahil. Karena tekad untuk meninggalkan perbuatan yang memang ia tidak mampu mengerjakannya ini adalah sesuatu yang pasti terjadi, bukan tekad sesuatu yang tidak mampu ia kerjakan. Itu tidak lebih dari semisal meninggalkan keinginan terbang di udara, memindahkan gunung dan sebagainya.

Pendapat kedua: (pendapat yang benar) adalah taubatnya itu diterima, mungkin dan dapat terjadi. Karena rukun-rukun taubat masih ada padanya. Yang dapat ia lakukan dari perbuatan itu adalah penyesalan. Dalam musnad Ahmad secara marfu' diriwayatkan hadits: "Penyesalan adalah taubat.

Maka jika ia telah menyesal atas dosanya, serta mencela dirinya sendiri, itu adalah taubat. Mengapa kemudian hak taubat itu diambil darinya, meskipun ia telah amat menyesal atas dosanya, dan telah berulang kali menyalahkan dirinya sendiri. Apalagi jika ia juga menangis, sedih dan takut, serta bertekad kuat dan berniat jika ia sehat dan ia mempunyai kemampuan untuk mengerjakan perbuatan dosa itu ia tidak akan mengerjakannya.

Juga karena dalam syari'at, orang yang tidak dapat melakukan ketaatan dikelompokkan dalam golongan orang yang mengerjakan ketaatan itu, jika niatnya benar. Seperti dalam hadits sahih:

"Jika seorang hamba sakit atau melakukan musafir, maka baginya ditulis pahala amal yang biasa ia lakukan saat sehat dan diam di rumah."

Dan dalam hadits sahih lainnya dari Rasulullah Saw:

"Sesungguhnya di Madinah adalah sekelompok orang yang jika kalian melakukan perjalanan dan menelusuri lembah ngarai niscaya mereka juga bersama kalian. Para sahabat bertanya: "Dan saat itu mereka berada di Madinah"?. Rasulullah Saw menjawab: mereka berada di Madinah, dan tidak dapat ikut bersama kalian semata karena mereka mempunyai uzur".

Banyak lagi terdapat hadits sejenis. Maka meletakkan orang yang tidak dapat melakukan maksiat, yang meninggalkan maksiat itu secara terpaksa (sambil ia berniat akan meninggalkan kemaksiatan itu secara suka rela jika ia mempunyai kemampuan) pada posisi seperti orang yang meninggalkan sesuatu kemaksiatan dengan pilihan dan tekadnya sendiri, adalah lebih utama.

Ia menjelaskan: kemafsadatan dosa yang diancam akan diberikan hukuman itu kadang timbul dari keinginannya, atau dari mengerjakannya. Dan kemafsadatan itu tidak terdapat dalam orang yang tidak dapat melakukan maksiat itu, baik tekad atau mengerjakannya langsung. Dan hukuman adalah mengikuti mafsadat itu.

Jika orang ini tidak dapat melakukannya, ia masih dapat menghayalkan dan menginginkannya. Dan di antara niatnya adalah: Jika ia sehat ia akan melakukannya. Maka taubatnya itu adalah dengan membersihkan dirinya dari keinginan dan khayalannya itu. Keinginan untuk terus melakukan dosa itu masih terdapat dalam dirinya tentunya, kemudian ia berkeinginan untuk melakukan yang sebaliknya, maka itu adalah taubatnya. Itu baginya lebih mungkin dan dapat terjadi daripada berkeinginan untuk terus menjalankan maksiat. Ini amat jelas.

Perbedaan antara orang seperti ini dengan orang yang sedang menghadapi kematiannya serta orang yang sedang menghadapi hari kiamat adalah: beban (taklif) telah terputuskan ketika datang kematian dan saat hari kiamat datang. Sedangkan taubat itu masih dalam masa taklif (beban). Dan orang yang lemah ini tidak terputus baginya taklif. Maka perintah dan larangan masih melekat padanya. Mencegah berbuat dosa masih dapat ia lakukan, daripada menginginkan dan merindukan kemaksiatan itu, serta menyesal tidak dapat melakukannya. Kemudian ia mengganti semua itu dengan penyesalan dan kesedihan karena ia telah melakukannya. Wallahu a'lam. [Madarij Salikin: 1 / 283 - 286.]



Judul Asli: at Taubat Ila Allah
Pengarang: Dr. Yusuf al Qardhawi
Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani
Penerbit: Maktabah Wahbah, Kairo
Cetakan: I/1998

Taubat dari Suatu Dosa Sambil Tetap Melakukan Dosa yang Lain. Tuntunan Bertaubat kepada Allah SWT oleh Dr. Yusuf al Qaradhawi ( XX )

Taubat dari Suatu Dosa Sambil Tetap Melakukan Dosa yang Lain

Di antara pertanyaan yang penting yang menuntut untuk dijawab dan dijelaskan hukumnya di sini adalah pertanyaan: apakah taubat dari suatu dosa sah, jika sambil tetap melakukan dosa yang lain?

Dalam hal ini ada dua pendapat ulama, dan keduanya adalah dua riwayat dari imam Ahmad. Orang yang mengatakan di situ ada ijma', tidak mengetahui ikhtilaf pendapat yang terjadi, seperti an-Nawawi yang berpendapat lain dan ulama lainnya.

Abu Thalib al Makki dalam kitabnya "Qutul Qulub" meriwayatkan pendapat berikut ini dari beberapa ulama: orang yang telah taubat dari sembilan puluh sembilan dosa, namun ia tidak bertaubat dari satu dosa, maka ia menurut kami bukan kelompok orang yang bertaubat" [Qutul Qulub: 1/191]

Imam Ibnu Qayyim berkata: Masalah ini pelik, dan memiliki kerumitan tersendiri. Namun perlu memilih salah satu pendapat itu dengan diperkuat oleh dalil. Mereka yang mengabsahkan taubat seperti itu berdalil bahwa keislaman seseorang jelas sah --dan keislaman itu adalah taubat dari kekafiran-- meskipun ia masih tetap melakukan maksiat yang ia belum bertaubat darinya. Maka demikian pula halnya dengan taubat dari suatu dosa sambil masih tetap melaklukan dosa yag lain.

Sedangkan kelompok ulama yang lain berkata: keislaman itu lain masalahnya dari yang lain, karena kekuatannya, serta keislaman itu dapat terjadi --dengan keislaman kedua orang tuanya atau salah satunya-- bagi anak kecil.

Sementara kelompok ulama yang lain lagi berdalil, bahwa taubat itu adalah kembali kepada Allah SWT dari melanggar aturan-Nya menuju ketaatan-Nya. Maka bagaimana ia dapat dikatakan kembali jika ia hanya taubat dari satu dosa, sementara masih terus melakukan seribu dosa lainnya?

Mereka berkata: Allah SWT tidak menghukum orang yang telah bertaubat karena orang itu telah kembali kepada ketaatan dan penghambaanNya, serta telah taubat dengan taubat nasuha. Sedangkan orang yang masih terus melakukan dosa lain yang sejenisnya --atau malah lebih besar lagi-- tidak dapat dikatakan telah kembali kepada ketaatan, dan tidak pula telah taubat dengan taubat nasuha.

Mereka berkata: karena orang yang bertaubat kepada Allah SWT, darinya telah hilang cap "pelaku maksiat", seperti orang kafir ketika ia masuk Islam yang hilang cap "kafir" itu darinya. Sedangkan orang yang tetap melakukan dosa lain selain dosa yang ia mintakan taubat itu, maka cap "maksiat" masih tetap melekat padanya, sehingga taubatnya tidak sah. Rahasia masalah ini adalah: taubat itu memiliki macam-macam bagian, seperti kemaksiatan, sehingga ia dapat taubat dari satu segi, tidak pada segi lainnya, seperti antara keimanan dengan keislaman

Pendapat yang kuat adalah: taubat itu dipecah-pecah, seperti perbedaan dalam pelaksanaannya. Demikian juga dalam jumlahnya. Maka jika seorang hamba telah menjalankan suatu kewajiban dan meninggalkan kewajiban yang lain, ia akan menerima hukuman atas yang ditinggalkan itu tidak atas kewajiban yang telah dilakukannya. Demikian juga halnya orang yang telah bertaubat dari satu dosa dan tetap melakukan dosa yang lain. Karena taubat adalah kewajiban dari dua dosa. Maka ia telah melakukan satu dari dua kewajiban dan meninggalkan yang lain. Sehingga apa yang ditinggalkannya tidak membuat batal apa yang telah dikerjakannya. Seperti orang yang tidak melaksanakan hajji, namun menjalankan shalat, puasa dan zakat.

Kelompok yang lain berkata: taubat adalah satu pekerjaan. Maknanya adalah meninggalkan apa yang dibenci oleh Allah SWT serta menyesal dari perbuatannya yang buruk, dan kembali kepada ketaatan kepada Allah SWT. Maka jika ia tidak melengkapinya, taubatnya itu tidak sah, karena ia adalah satu kesatuan ibadah. Maka melaksanakan sebagian taubat sementara meninggalkan taubat yang lain adalah seperti orang yang melakukan sebagian ibadah dan meninggalkan bagian lainnya. Dan ikatan bagian-bagian suatu ibadah satu sama lain lebih kuat dari ikatan ibadah-ibadah yang bermacam-macam, satu sama lain.

Dan kelompok yang berpendapat lain berkata: setiap dosa memiliki taubat yang khusus baginya, dan taubat itu wajib dilakukannya. Namun taubat itu tidak berkaitan dengan taubat dari perbuatan lainnya. Seperti tidak ada kaitan antara satu dosa dengan dosa lainnya.

Ibnu Qayyim berkata: menurutku dalam masalah ini adalah: suatu taubat atas suatu dosa tidak sah jika orang itu tetap menjalankan dosa lainnya yang sejenis. Sedangkan taubat dari satu dosa sambil masih melakukan dosa lain yang tidak mempunyai hubungan dengan dosa pertama, juga bukan dari jenisnya, taubat itu sah. Seperti orang yang bertaubat dari riba, dan belum bertaubat dari meminum khamar misalnya. Karena taubatnya dari riba adalah sah. Sedangkan orang yang bertaubat dari riba fadhl, kemudian ia tidak bertaubat dari riba nasi'ah dan terus menjalankan riba ini, atau sebaliknya, atau orang yang taubat dari menggunakan obat bius dan ia masih tetap minum minuman keras, atau sebaliknya, maka taubatnya ini tidak sah. Ini adalah seperti orang yang bertaubat dari berzina dengan seorang wanita, namun ia masih tetap berzina dengan wanita-wanita lainnya, maka tidak sah taubatnnya. Demikian juga orang yang bertaubat dari meminum juice anggur yang memambukkan, namun ia masih terus meminum minuman lainnya yang memabukkan juga, maka orang ini sebetulnya belum bertaubat. Namun ia hanya bnerpindah dari satu macam ke macam lainnya.

Berbeda dengan orang yang meninggalkan satu jenis maksiat, sambil menjalankan maksiat jenis lainnya. Karena dosanya lebih ringan, atau karena dorongannya baginya lebih kuat, serta kekuatan syahwat untuk melakukan itu amat kuat baginya atau juga faktor-faktor yang mendorongnya untuk terus melakukan itu masih tetap ada, tidak perlu dicari. Berbeda dengan maksiat yang butuh dicari dahulu perangkatnya untuk mengerjakannnya, atau juga karena teman-temannya memilikinya, dan mereka tidak membiarkannhya untuk bertaubat darinya, dan ia memiliki kehormatan di hadapan mereka, maka jiwanya tidak membiarkannya untuk merusak penghormatan mereka atasnya itu dengan melakukan taubat [Madarij Salikin: 1/273-275]

Pendapat yang aku pilih dalam masalah ini adalah: seluruh orang yang bertaubat dari suatu dosa dengan taubat yang benar, maka diharapkan Allah SWT menerima taubatnya, dari dosa itu. Meskipun ia masih terus menjalankan dosa yang lain. Barangsiapa yang bertaubat dari perbuatan kaum Luth (homoseksual) dengan benar, niscaya Allah SWT akan menerima taubatnya, meskipun ia masih berat untuk bertaubat dari zina. Orang yang bertaubat dari riba nasi'ah, maka Allah SWT akan menerima tabatnya, meskipun ia masih menjalankan riba fadhl. Atau ia taubat dari ghibah (menceritakan keburukan orang) dan namimah (mengadu domba), meskipun ia masih sering menghina orang, berbohong ketika bicara atau dosa lidah lainnya.

Taubat itu sah karena taubat pada dasarnya adalah hasanah (kebaikan), bahkan kebaikan yang besar. Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisiNya pahala yang besar" [an Nisa: 40]

Kemudian Allah SWT berjanji akan menerima taubat hamba-hamba-Nya secara umum. Dan tidak mengkhususkan satu dosa dari dosa lainnya. Seperti dalam firman Allah SWT:

"Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan memaafkan kesalahan-kesalahan" [QS. asy-Syuura: 25].

Orang ini telah bertaubat dari dosanya, dan ia berhak untuk diterima taubatnya oleh Allah SWT dan dimaafkan.

Kemudian ini cocok dengan keluasan rahmat dan maghfirah Allah SWT yang mencakup seluruh orang yang berdosa dan seluruh orang yuang bertaubat. Seperti firman Allah SWT:

"Sesungguhnya Allah SWT mengampuni dosa-dosa seluruhnya".

Kemudian itu juga akan mengobati kelemahan manusia, dan menuntunnya secara bertahap, dan membuka kesempatan baginya meningkat setahap demi setahap. Sehingga ia dapat meninggalkan maksiat sedikit demi sedikit, dan dari satu fase ke fase selanjutnya. Hingga pada akhirnya Allah SWT memberikan hidayah kepadanya untuk meninggalkan seluruh kemaksiatan itu. Dalam hadits sahih disabdakan:

"Kalian diutus hanya untuk memberi kemudahan dan tidaklah kalian diutus untuk membuat kesulitan".

Pendapat yang mengatakan diterimanya taubat seseorang yang taubat ketika ia masih berbuat dosa lagi, dan ia kemudian kembali bertaubat, didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda:

"Seorang hamba melakukan dosa, dan berdo'a: Ya Tuhanku, aku telah melakukan dosa maka ampunilah aku. Tuhannya berfirman: hamba-Ku mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang akan mengampuni dan menghapus dosanya, maka Aku ampuni hamba-Ku itu. Kemudian waktu berjalan dan orang itu tetap seperti itu hingga masa yang ditentukan Allah SWT, hingga orang itu kembali melakukan dosa yang lain. Orang itupun kembali berdo'a: Ya Tuhanku, aku kembali melakukan dosa, maka ampunilah dosaku. Allah SWT berfirman: Hamba-Ku mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan Yang mengampuni dan menghapus dosanya, maka Aku ampuni hamba-Ku itu. Kemudian ia terus dalam keadaan demikian selama masa yang ditentukan Allah SWT, hingga akhirnya ia kembali melakukan dosa. Dan ia berdo'a: Ya Tuhanku, aku telah melakukan dosa, maka ampunilah daku. Allah SWT berfirman: Hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai Tuhan Yang mengampuni dan menghapus dosanya. Maka Aku telah berikan ampunan kepada hamba-Ku, (diulang tiga kali) dan silahkan ia melakukan apa yang ia mau" [Hadits Muttafaq alaih: lihat: al Lu'lu wa al Marjan (1754) dan lihatlah: Fathul Bari juz 13 hal. 46 dan setelahnya].

Al Qurthubi berkata dalam kitabnya "al Mufhim fi syarhi Muslim": Hadits ini menunjukkan kebesaran faedah istighfar, dan keagungan nikmat Allah SWT, keluasan rahmat-Nya serta sifat pemaaf dan pemurah-Nya. Namun istighfar ini adalah permohonan taubat yang maknanya tertanam dalam hati sambil diiringi dengan ucapan lidah, sehingga ia tidak lagi menjalankan dosa itu, dan ia merasa menyesal atas perbuatan masa lalunya. Sehingga itu adalah ungkapan praktekal atas taubat. Seperti dikatakan oleh hadits: orang yang paling baik dari kalian adalah setiap orang yang terfitnah (sehingga melakukan dosa) dan sering bertaubat". Maknanya: yaitu orang yang terulang dosanya dan mengulang taubatnya. Setiap kali ia jatuh dalam dosa ia mengulang taubatnya. Bukan orang yang berkata dengan lidahnya: aku ber istighfar kepada Allah SWT, namun hatinya masih terus ingin menjalankan maksiat itu. Inilah istighfar yang masih membutuhkan kepada istighfar lagi!

Al Hafizh ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bari ketika memberi komentar atas hadits itu, sebagai berikut: hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dari hadits Ibnu Abbas secara marfu':

"Orang yang bertaubat adalah seperti orang yang tidak mempunyai dosa, dan orang yang meminta ampunan dari dosa, sementara ia masih tetap melakukan dosa, adalah seperti orang yang mengejek Tuhannya".

Ia berkata: yang rajih adalah: redaksi dari "wal mustaghfir... hingga akhirnya, adalah mauquf. Atau dari perkataan Ibnu Abbas, bukan hadits Nabi. Yang pertama menurut Ibnu Majah dan Thabrani, dari hadits Ibnu Mas'ud. Dan sanadnya hasan.

Al Qurthubi berkata: faedah hadits ini adalah: kembali berbuat dosa adalah lebih buruk dari ketika pertama kali melakukan dosa itu, karena dengan kembali berdosa itu ia berarti melanggar taubatnya. Tapi kembali melakuian taubat adalah lebih baik dari taubatnya yang pertama, karena ia berarti terus meminta kepada Allah SWT Yang Maha Pemurah, terus meminta kepada-Nya, dan mengakui bahwa tidak ada yang dapat memberikan taubat selain Allah SWT.

Imam an Nawawi berkata: dalam hadits itu, suatu dosa --meskipun telah terulang sebanyak seratus kali atau malah seribu dan lebih-- jika orang itu bertaubat dalam setiap kali melakukan dosa-- niscaya taubatnya diterima, atau juga ia bertaubat dari seluruh dosa itu dengan satu taubat, maka taubatnya juga sah. Dan redaksi: "perbuatlah apa yang engkau mau" -- atau "Maka silakan ia berbuat apa yang ia mau" - maknanya: selama engkau masih melakukan dosa maka bertaubatlah, niscaya Aku akan ampuni dosamu" [Lihat: Fathul Bari: 14/ 471. Cetakan: Darul Fikr al Mushawirah An Salafiyah]

Benar, taubat yang sempurna adalah taubat dari seluruh dosa. Dan itulah yang akan membawa kepada keberuntungan yang disinyalir dalam firman Allah SWT:

"Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung" [QS. an-Nur: 31]

Taubat seperti itulah yang akan menghapus seluruh keburukan, dan menghilangkan seluruh dosa, dan orangnya akan masuk dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari Allah SWT tidak mengcewakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya.

Inilah yang akan menarik cinta Allah SWT kepadanya, juga kesenangan dan senyum-Nya terhadap mereka.

Juga taubat yang sempurna adalah taubat yang tidak hanya mencegah orang itu untuk kembali melakukan maksiat saja, namun ia adalah taubat yang mendorongnya untuk melakukan ketaatan, menjalankan perbuatan yang saleh, serta mematuhi hukum-hukum syari'ah dan adab-adabnya, secara zahir dan bathin, antara dia dengan Rabbnya, antara dirinya dengan dirinya sendiri, serta antara dirinya dengan seluruh makhluk. Sehingga ia dapat mencapai keberuntungan di dunia dan akhirat, dan mendapatkan kemenangan surga serta selamat dari neraka.

Oleh karena itu, kita harus membedakan antara taubat yang menyeluruh yang akan mengantarkan orang itu kepada kemenangan mendapatkan surga dan selamat dari neraka, dengan taubat yang parsial yang memberikan keuntungan kepada orang yang taubat itu serta membebaskannya dari suatu dosa tertentu, meskipun ia tetap terikat dengan dosa yang lain. Kedua macam taubat itu mempunyai ketentuan hukumnya masing-masing.


Judul Asli: at Taubat Ila Allah
Pengarang: Dr. Yusuf al Qardhawi
Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani
Penerbit: Maktabah Wahbah, Kairo
Cetakan: I/1998

Berlaku Zhalim Kepada Manusia Secara Etika, Seperti Ghibah dan MencercaTuntunan Bertaubat kepada Allah SWT oleh Dr. Yusuf al Qaradhawi ( XIX ).

Berlaku Zhalim Kepada Manusia Secara Etika, Seperti Ghibah dan Mencerca

Tadi kita berbicara tentang taubat dari pelanggaran atas hak-hak harta orang lain. Kemudian bagaimana kita bertaubat dari hak-hak maknawi dan etis mereka. Seperti melakukan penghinaan terhadapnya dengan ghibah, qadzaf (menuduh zina), mengecam, mencela, menghinanya atau tindakan lainnya. Apakah taubat dalam dosa seperti ini disyaratkan agar memberitahukan orang yang ia zalimi itu, atau ia meminta maaf dan ampunan darinya?. Ataukah juga ia memberitahukannya bahwa ia telah berbuat zalim kepadanya, namun tidak disyaratkan menyebutkan secara detail kezhalimannya itu?. Ataukah kedua hal tadi tidak disyaratkan untuk mencapai taubat dalam dosa seperti ini, namun cukup ia bertaubat kepada Allah SWT tanpa memberitahukan dan tanpa meminta maaf kepada orang yang ia tuduh dan ia kecam itu?

Dalam hal ini ada tiga pendapat:

Dari imam Ahmad ada dua riwayat pendapatnya dalam masalah hukum qadzaf. Apakah orang yang menuduh zina (qadzif) itu ketika bertaubat disyaratkan melakukan hal ini: memberitahukan tindakannya kepada orang yang ia tuduhkan, dan kemudian meminta maaf dari perbuatannya itu atau tidak? Dan nantinya disimpulkan pula dari kedua hal itu tentang cara taubat orang yang berghibah dan mencela

Dalam mazhab Syafi'i, Abi Hanifah dan Malik, disyaratkan untuk memberitahukan detail kezhalimannya dan meminta maaf atas perbuatannya itu. Seperti disebutkan oleh sahabat-shahabat mereka dalam kitab-kitab mereka.

Orang yang mensyaratkan pemberitahuan dan meminta maaf itu berdalil: karena dosa itu adalah hak manusia, maka hak itu tidak hilang kecuali dengan meminta maaf dari dosa tertentu itu dan meminta dibebaskan darinya.

Kemudian kelompok ulama yang tidak menganggap sah pembersihan diri tanpa menjelaskan detail kesalahannya itu, mensyaratkan agar ia memberitahukan masalahnya secara jelas. Seperti ia berkata: aku telah mengecam dan mencela dirimu, aku telah mengejekmu, atau juga aku telah berghibah dan menyebut keburukanmu. Terutama jika orang yang melanggar hak orang lain itu mengetahui kadar haknya, maka ia harus memberitahukan orang yang ia zhalimi itu kadar haknya itu. Karena orang itu mungkin tidak akan memaafkanya jika ia tahu kadar kejahatan yang telah dilakukan orang itu terhadapnya. Dan ia berkata kepadanya: aku telah berlaku zalim kepadamu dan aku telah mengghibah dirimu selama sepuluh tahun. Ia mungkin dapat memaafkannya atas ghibahnya sekali atau beberapa kali, namun ia tidak dapat memaafkannya jika ia mengghibahnya sampai bertahun-tahun.

Mereka berdalil atas pendapat itu dengan sabda Rasulullah Saw : "Barangsiapa yang telah melakukan kezaliman kepada suadaranya, baik harta maupun harga diri, maka pada hari ini hendaklah ia meminta dibebaskan, sebelum datang hari tidak berguna padanya dinar dan dirham, kecuali kebaikan dengan keburukan".

Mereka berkata: karena dalam suatu dosa ada dua hak: hak Allah SWT dan hak manusia. Maka taubat dari dosa itu adalah dengan meminta maaf kepada manusia karena hak orang itu atasnya; dan dengan menyesali perbuatan itu untuk menghapus dosa di hadapan Allah SWT, karena hak Allah SWT atasnya.

Mereka berkata: oleh karena itu, dosa orang yang membunuh tidak dapat sempurna kecuali dengan memberikan dirinya kepada wali korbannya; jika mereka mau, mereka dapat mengqishashnya; dan jika tidak, mereka dapat memaafkannya. Demikian juga taubat perampok.

Pendapat yang lain mengatakan: tidak disyaratkan dalam taubat itu memberitahukan kejahatan apa yang telah ia lakukan kepadanya, apakah itu tentang kehormatan diri, mengqazafnya atau mengghibahnya. Namun ia cukup bertaubat kepada Allah SWT, kemudian menyebutkan orang yang pernah ia ghibahkan atau ia qadzaf dengan kebalikan ghibah dan qadzaf itu, sehingga ghibahnya berganti dengan pujian, dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Dari qadzaf berganti menjadi menyebut kebersihan dirinya, dan menjaga kehormatan dirinya, serta ia memintakan istighfar baginya sesuai dengan kadar ghibahnya atasnya.

Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiah.

Orang yang berpendapat dengan pendapat ini berdalil bahwa dengan memberitahukannya hanya akan membawa kemafsadatan yang lebih besar, dan tidak pula menjamin akan tercapai kemaslahatan, karena hal itu hanya akan menambah kesal dan sakit hati saja. Barangkali orang itu berada dalam ketentraman sebelum mendengar itu, namun ketika ia mendengarnya, justru ia menjadi gelisah dan marah hingga tidak mampu menahannya, dan akhirnya membuat bahaya bagi diri dan tubuhnya.

Jika demikian, maka syari'ah tidak membenarkannya, apalagi sampai mewajibkan dan memerintahkannya.

Mereka berkata:

Dapat juga keterusterangannya itu akan menjadi pangkal permusuhan antara dia dengan orang yang membeberkan kesalahannya itu, dan ia tidak akan ridha terhadapnya selama-lamanya. Dari tahunya itu akan melahirkan permusuhan dan kemarahan yang mengakibatkana kejahatan yang lebih besar dari kejahatan ghibah dan qadzaf. Ini tentu bertentangan dengan tujuan syari'ah untuk menyatukan hati dan saling kasih- sayang antara mereka.

Mereka berkata: perbedaan antara hak itu dengan hak-hak harta dan hak atas tubuh ada dua segi:

Pertama: ia dapat mengambil manfaat darinya jika dikembalikan kepadanya, oleh karena itu tidak boleh disembunyikan darinya, karena itu adalah haknya, dan harus diberikan kepdanya. Berbeda dengan ghibah dan qadzaf, dalam hal ini tidak ada yang dapat memberikan manfaat baginya, malah akan membuatnya sulit dan sakit hati saja. Dan jika di antara keduanya dilakukan qiyas, itu adalah qiyas yang paling buruk.

Kedua: karena tentang harta itu, jika ia memberitahukan orang yang berhak itu, maka itu tidak membuatnya teraniaya, serta tidak pula menimbulkan marah dan sakit hati, malah itu dapat membuatnya gembira dan senang. Berbeda halnya jika ia memberitahukannya apa yang merobek harga dirinya sepanjang usinya, siang dan malam, seperti qadzaf, ghibah dan celaan. Maka mengukur masalah terakhir ini dengan yang pertama adalah tidak benar. Ini adalah pendapat yang benar dari dua pendapat. Wallahu a'lam. (Madarij Salikin: 1/289, 291).

* * *



Judul Asli: at Taubat Ila Allah
Pengarang: Dr. Yusuf al Qardhawi
Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani
Penerbit: Maktabah Wahbah, Kairo
Cetakan: I/1998

Taubat Dari Pelanggaran Terhadap Hak-Hak Manusia. Tuntunan Bertaubat kepada Allah SWT oleh Dr. Yusuf al Qaradhawi ( XVIII )

Taubat Dari Pelanggaran Terhadap Hak-Hak Manusia

Karena beratnya hak-hak manusia, dan biasanya ia terjadi diiringi pertengkaran dan permusuhan, maka taubat dari dosa ini dilakukan dengan dua cara: pertama ia mengembalikan hak itu kepada orangnya, jika orang itu masih haidup, atau kepada pewarisnya, jika ia telah mati. Cara kedua adalah dengan meminta dihalalkan olehnya, setelah ia memberitahukannya, jika itu adalah hak harta, aniaya atas tubuhnya atau tubuh orang yang ia warisi. Seperti disabdakan oleh Rasulullah Saw:

"Barangsiapa yang telah melakukan kezaliman kepada saudaranya, baik harta maupun harga diri, maka pada hari ini hendaklah ia meminta dibebaskan, sebelum datang hari tidak berguna padanya dinar dan dirham, kecuali amal kebaikan dengan tanggungan dosa keburukan. (Hadits diriwayatkan oleh Bukhari)
Taubat Orang yang Tidak Dapat Mengembalikan Hak-hak Harta

Orang yang memegang hak harta orang lain, ia harus mengembalikan harta itu kepada mereka, atau kepada ahli warisnya. Jika ia tidak memiliki harta yang cukup untuk itu, hendaklah ia berusaha untuk mencari gantinya, sepanjang hidupnya, sesuai kemampuannya. Tiap kali ia mendapatkan suatu harta, hendaklah ia segera membayarkan sebagian dari kewajibannya itu. Setiap orang sesuai dengan haknya. Barangsiapa yang menanggung hutang harta, kemudian ia bertaubat dan menyesal dari perbuatannya itu, maka ia harus mengembalikannya kepada para pemiliknya, atau kepada ahli warisnya.

Kemudian, jika ia tidak mengetahui mereka, atau mereka telah wafat, atau karena masalah lain, maka taubat dalam kasus seperti ini berbeda aturannya:

Satu kelompok ulama berpendapat: tidak ada taubat baginya, kecuali dengan mengembalikan kezaliman ini kepada para pemiliknya. Jika ia tidak dapat melakukan itu maka taubatnya pun tidak dapat ia raih. Dan nantinya pada hari kiamat, menanti balasan dengan diambilnya kebaikannya untuk menebus keburukannya itu. Tidak ada jalan lain.

Mereka berkata: ini adalah hak manusia yang tidak sampai kepadanya. Dan Allah SWT tidak membiarkan satu hak hamba untuk dilanggar oleh orang lain sedikitpun. Dan Dia menyampaikan hak masing-masing orang kepada orang tersebut. Dia sama sekali tidak membiarkan suatu kezaliman manusia kepada manusia lain terjadi tanpa konsekwensi. Maka Dia akan mengambil hak orang yang dizalimi dari orang yang menzaliminya, meskipuin itu sebuah tamparan, kata-kata atau satu lemparan batu.

Mereka berkata: tindakan yang paling mudah dilakukan untuk menutupi kesalahannya itu adalah dengan memperbanyak kebaikan, sehingga ia dapat membayar kejahatannya pada hari kiamat nanti dengan kebaikannya itu. Dan tindakan yang paling bermanfaat baginya adalah bersabar atas kezaliman dan aniaya yang dilakukan orang lain kepadanya, serta ghibah dan qadzaf (tuduhan zina) yang dilontarkan mereka kepadanya. Hendaklah ia tidak meminta haknya dari mereka di dunia, serta tidak menemuinya, sehingga musuhnya itu akan menutupi kekurangan timbangannya nanti di akhirat, jika memang kebaikannya telah habis. Karena jika ia akan diambil kebaikannya untuk membayar kezaliman yang telah ia lakukan kepada orang lain, maka iapun akan dibayarkan dari orang lain atas kezaliman yang dilakukan mereka kepadanya. Sehingga diharapkan itu dapat memenuhi kekurangannya, atau malah akan menambah timbangannya.

Kemudian mereka berselisih pendapat tentang orang yang memegang uang yang didapatkan dari hasil kezaliman.

Sekelompok ulama berkata: hendaknya ia tetap menyimpan uang itu, dan tidak boleh menggunakannya sama sekali.

Sekelompok ulama yang lain berkata: hendaknya ia berikan uang tersebut kepada imam atau pejabat yang berwenang, karena ia adalah wakil dari rakyatnya, sehingga ia menyimpankannya untuk mereka. Dan hukum harta itu menjadi harta yang ditemukan dijalan (luqathah).

Sementara sekelompok ulama yang lain berkata: pintu taubat masih terbuka bagi orang ini, dan tidak ditutup oleh Allah SWT baginya serta bagi orang yang berdosa. Taubat orang ini adalah dengan mensedekahkan harta itu kepada orang-orang yang berhak, seperti kepada para fakir-miskin, orang-orang yang membutuhkan, lembaga-lembaga sosial, dan untuk kepentingan kaum muslimin.

Di antaranya adalah untuk: pasukan jihad fi sabilillah dan pusat-pusat dakwah. Jika nanti datang hari pembalasan hak-hak, maka para pemilik uang dapat memilih antara memaafkan apa yang diperbuatnya itu, dan pahala sedekah itu untuk mereka. Atau mereka tidak memaafkannya, sehingga mereka mengambil dari kebaikannya menurut jumlah uang mereka, dan pahala sedekah itu untuknya sendiri. Karena Allah SWT tidak membatalkan pahala sadaqahnya itu. Dan Allah SWT tidak menyatukan antara pengganti dan yang digantikan. Kemudian dimintakan kepadanya, dan Allah SWT menjadikan pahala sedekah itu bagi mereka, atau juga dengan mengambil dari kebaikannya sesuai dengan kadarnya untuk diberikan kepada orang yang pernah dizhaliminya itu.

Ibnu Qayyim berkata:

Ini adalah mazhab sekelompok shahabat, seperti diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah dan Hajjaj bin Sya'ir.

Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud membeli seorang hamba sahaya wanita dari seseorang, kemudian ia masuk untuk menimbang harganya, namun ketika ia kembali pemilik budak itu telah pergi, dan iapun menunggunya hingga ia lemas menunggu, maka iapun mensadaqahkan harga itu dan berkata: ya Allah, sadaqah ini bagi pemilik hamba sahaya ini, jika ia merelakannya maka pahala sadaqah itu untuk saya, dan jika ia tidak rela maka pahalanya untuk saya, dan ia dapat mengambil dari kebaikan saya sesuai dengan haknya.

Seorang laki-laki telah berlaku curang terhadap ghanimah, kemudian ia bertaubat, dan membawa ghanimah yang telah ia curi itu kepada kepala tentara, namun ia menolak untuk menerimanya, dan berkata: "bagaimana aku dapat menyampaikannya kepada seluruh tentara itu, padahal mereka telah berpencar dan pulang ke rumah masing-masing?" Kemudian orang itu mendatangi Hajjaj bin Sya'ir, dan ia pun berkata kepadanya: "Hai bung, sesungguhnya Allah SWT mengetahui tentara itu serta nama mereka dan keturunan mereka. Maka berikanlah seperlima harta itu kepada orang-orang yang berhak atasnya, kemudain sedekahkan sisanya dan pahalanya diniatkan untuk mereka, karena Allah SWT akan menyampaikan itu kepada mereka", dan orang itupun melakukan nasehat itu. Ketika Mu'awiyah diberitahukan tentang hal itu ia berkata: "aku berfatwa dengan fatwa itu lebih aku senangi dari pada setengah kerajaanku!"

Mereka berkata: demikian juga halnya dengan barang temuan jika tidak ditemukan pemiliknya, setelah diumumkan, sementara ia tidak ingin memilikinya, maka ia dapat mensedekahkannya, dan jika kemudian datang pemiliknya ia dapat memberikan pilihan antara mendapatkan pahalanya atau diganti.

Mereka berkata: hal ini karena, dalam syari'ah, orang yang tidak diketahui dianggap seperti orang yang tidak ada. Jika pemiliknya tidak ada maka itu seperti tidak ada pemiliknya. Ini berkaitan dengan harta yang tidak diketahui siapa pemiliknya dengan pasti. Sementara harta itu tidak boleh disia-siakan. Karena itu akan menciptakan mudarat bagi pemiliknya, para fakir-miksin, dan orang yang berada dalam tanggungannya. Bagi pemiliknya, itu akan membuat mudarat baginya karena manfaatnya tidak sampai kepadanya. Demikian juga bagi para fakir miskin. Sedangkan bagi orang yang berada dalam tanggungannya: karena ia tidak dapat membebaskannya dari dosanya, sehingga ia dituntut diakhirat tanpa mengambil manfaat darinya, dan itu tidak dibenarkan oleh syari'ah, apalagi sampai memerintahkannya dan mewajibkannya. Karena syari'ah berdasarkan pada "menghasilkan" kemaslahatan sedapat mungkin dan menyempurnakannya. Serta menahan kemafsadatan sedapat dan sedikit mungkin. Dengan menyia-nyiakan uang itu, tidak memanfaatkannya dan melarang orang untuk mempergunakannya adalah kemafsadatan yang jelas, dan tidak ada kemaslahatan sama sekali.

Seperti diketahui --sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim-- orang yang tidak mendapatkan hartanya yang seharusnya menjadi miliknya di dunia, tentu ia akan amat senang ketika mendapatkan manfaat dari hartanya itu di akhirat. Tentu ia akan amat tidak senang jika ia kemudian tidak dapat memanfaatkan hartanya itu di dunia dan akhirat. Jika pahala hartanya itu sampai di akhirat, tentu kebahagiaannya akan lebih dari pada kebahagiaannya saat mendapatkannya di dunia. Maka mengapa ada yang berpendapat: maslahat tidak mempergunakan harta ini -- bagi orang yang telah meninggal, orang-orang miskin dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya-- lebih besar dari maslahat menginfakkannya secara syar'i? Bahkan apa maslahatnya bagi agama atau dunia dalam penyia-nyiaan harta tersebut? Bukankah tindakan penyia-nyiaan itu semata suatu kemafsadatan?

Ibnu Taimiah pernah ditanya seorang tua: "aku lari dari tuanku saat aku berusia kecil, dan hingga saat ini aku tidak mendengar khabarnya lagi. Aku adalah seorang hamba sahaya, dan takut terhadap azab Allah SWT atas perbuatanku itu. Aku ingin terbebas dari hak tuanku atas diriku. Aku telah bertanya kepada sekelompok mufti, dan mereka berkata kepadaku: pergilah dan duduklah di gudang!" Mendengar hal itu Ibnu Taimiah tertawa dan berkata: "hendaklah engkau bersedekah --sebisa dan sedapat mungkin -- dan pahalanya untuk tuanmu itu, dan engkau tidak perlu ke gudang, duduk tanpa menghasilkan manfaat, serta memberi mudarat bagi engkau, serta menghalangi maslahat engkau. Sedangkan tuanmu juga tidak mendapatkan manfaat dari tindakanmu berdiam di gudang itu, juga tidak bagimu dan bagi kaum muslimin. Wallahu a'lam." (Lihat: Madarij as Salikin: 1/387 - 390).
Orang-orang yang Mendapatkan Uang dari Transaksi yang Haram

Masalah ketiga: jika ia memperoleh uang dari orang lain dengan cara yang haram, dan saat itu ia memegang uang tersebut -&endash;seperti uang yang didapatkan oleh seorang pelacur dari langganannya, seorang penyanyi dari hasil nyanyiannya, penjual khamar dari pembelinya, orang yang memberikan saksi palsu dari penyogoknya, dan semacamnya-- kemudian ia taubat, dan uang yang ia dapatkan dengan cara haram itu masih berada pada dirinya; kemana seharusnya ia berikan uang tersebut?

Satu kelompok ulama berkata: uang agar dikembalikan kepada orang yang memberikannya semula, karena itu memang hartanya, dan ia tidak dapat memilikinya dengan izin dari Allah SWT, dan pemberinya pun tidak mendapatkan manfaat yang halal dari uang yang ia berikan itu.

Satu kelompok ulama lainnya berkata: taubatnya adalah dengan bersedekah dengan harta itu, dan ia tidak memberikannya kepada orang yang telah memberikannya. Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh syeikh IbnuTaimiah, dan itu adalah pendapat yang paling bagus. Karena jika ia tetap memegangnya, seharusnya uang itu ia dapatkan dari pemberinya sebagai pemberian tanpa pamrih dan suka rela, bukan sebagai pembayaran sesuatu yang haram. Lantas bagaimana mungkin ia mengembalikan uang itu kepada si pemberinya, yang nantinya dapat dipergunakan oleh orang itu untuk bermaksiat kepada Allah SWT, dan mengembalikannya uangnya itu kepadanya akan membantunya untuk melakukannya untuk kedua dan ketiga kalinya? Bukankah itu berarti membantunya untuk melakukan dosa dan pelanggaran syari'at? Apakah sesuai dengan kebaikan syari'at jika: para pelacur diperintahkan untuk mengembalikan seluruh penghasilannya yang ia dapatkan dari pelacuran kepada para lelaki hidung belang yang pernah mengajaknya tidur dan membayarnya, dan si hidung belang diperbolehkan untuk mengambil kembali uang itu dari si pelacur dengan cara baik-baik maupun paksaan?

Katakanlah harta itu tidak dimiliki orang yang mengambilnya, namun kepemilikan si pemiliknya yang pertama telah hilang ketika ia memberikannya kepada orang yang bertransaksi dengannya secara haram itu, dan ia pun sudah mendapatkan apa yang ditransaksikan itu. Lantas bagaimana mungkin setelah itu ada yang mengatakan bahwa kepemilikkan si orang pertama itu masih tetap ada dalam harta itu, dan uang itu harus dikembalikan kepadanya? Ini berbeda halnya jika ia mensedekahkan uang tersebut. Karena ia mendapatkan uang itu dari pemiliknya dengan suka rela, dan pemiliknya itu pun bisa tidak keberatan jika uang itu kemudian ia sedekahkan, dan tidak dikembalikan kepadanya. Dengan demikian, dalam kasus seperti ini, cara yang paling benar adalah: agar harta tersebut dipergunakan untuk suatu kemaslahatan yang dapat diambil manfaatnya oleh orang yang memegangnya, dan dapat mengurangi dosanya, yakni dengan mensedekahkannya, dan tidak digunakan untuk membantu si pembuat dosa untuk melakukan perbuatan dosanya. Dengan begitu, berarti ia telah mencapai dua kemaslahatan sekaligus.

Demikianlah taubat orang yang hartanya bercampur antara yang halal dan haram, yang keduanya tidak dapat ia bedakan: yaitu dengan mensedekahkan kadar harta yang haram yang berada padanya, dan menggunakan harta sisanya yang halal untuk dirinya. Wallahu a'lam.


Judul Asli: at Taubat Ila Allah
Pengarang: Dr. Yusuf al Qardhawi
Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani
Penerbit: Maktabah Wahbah, Kairo
Cetakan: I/1998